"Bappenas memrediksi, periode tahun 2030-2040 Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif berusia 15-64 tahun mencapai 64 persen atau sekitar 190 juta dari total penduduk yang diproyeksikan mencapai 297 juta jiwa. Pendidikan menjadi kunci utama agar bonus demografi tersebut menjadi berkah, bukan malah menjadi musibah dalam menggapai visi Indonesia Emas 2045," ujar Bamsoet saat menerima pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) periode 2019-2021, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Rabu (19/8/20).
Pengurus KAMMI 2019-2021 yang hadir antara lain Ketua Umum Susanto Triyogo, Wakil Ketua Bidang Internal Deni Setiadi, Wakil Ketua Bidang Eksternal Jimmy Julian, Ketua Bidang Kebijakan Publik Abdul Salam, Ketua Bidang Humas Ali Hasibuan, dan Ketua Bidang Pembinaan Kader Rijal Muharam.
Mantan Ketua DPR RI ini juga menyoroti temuan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) pada tahun 2011 yang mengungkapkan 50 persen pelajar setuju tindakan radikal, 25 persen siswa bahkan menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Di tahun 2017, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei terdapat 9,2 persen responden setuju NKRI diganti negara khilafah. Pada tahun 2019, Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan hampir seribu penduduk telah terpapar radikalisme, dengan kaum muda berusia 17-24 tahun berada di garis terdepan.
"Jika dibiarkan, kekuatan SDM yang menjadi modal utama mencapai visi Indonesia Emas 2045, malah akan hancur berantakan. Bukannya sukses dalam berbagai bidang, di tahun 2045 nanti kita malah masih akan disibukan dengan konflik sosial mengatasnamakan agama. Karenanya, sejak sekarang ini para kaum muda Indonesia harus menyadari bahwa tindakan radikal dan ekstrim atas nama agama, bukanlah hal yang dibenarkan. Indonesia terlalu berharga untuk dijadikan sarana perang saudara sebagaimana yang terjadi di berbagai negara Timur Tengah," tegas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, tantangan lain yang dihadapi kaum muda saat ini terkait sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19. Tak hanya Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai saat ini pendidikan di dunia mengalami disrupsi terbesar sepanjang sejarah, dengan 1,6 miliar pelajar dari 190 negara terkena dampaknya.
"PJJ membuat lahirnya masalah baru, yakni memperlebar ketimpangan akses terhadap pendidikan. Tak semua peserta didik memiliki akses terhadap internet. Jikapun memiliki akses, tak semua daerah memiliki sinyal telepon dan perangkat digital yang memadai. Masalah juga dimiliki bagi peserta didik yang bisa menerapkan PJJ, mereka belum tentu bisa belajar optimal karena kondisi tempat tinggal maupun lingkungan keluarga yang tak kondusif. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin kita mengalami kehilangan satu generasi akibat pandemi," pungkas Bamsoet. (Red).