Sumut, Kabartujuhsatu.news, - Bayi malang bernama Irsan Qabel Al-kahfi Ginting diduga telah menjadi bahan praktikum dokter Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Pasalnya bayi malang yang menderita penyakit Hernia tersebut akan dioperasi oleh dokter Erjan, SpBA pada hari minggu (12/07/2020) meninggal dalam keadaan yang diduga terjadi Malpraktek.
Erzan dan Maulida orang tua dari bayi malang tersebut sangat terpukul akibat perlakuan dari mahasiswa/mahasiswi FK kedokteran USU yang tergabung dalan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) FK kedokteran USU-Medan Sumatera Utara. PPDS yang menangani bayi mungil Irsan berumur 2 bulan tersebut dilakukan tanpa perintah dan instruksi dari Dr.Hasanul Arifin melakukan pembiusan dan penanganan yang bukan seharusnya mereka kerjakan.”dokter spesialis anak (Dr.Erjan) saja datangnya 45 menit setelah PPDS bius bang, mereka lakukan dengan cara yang sama seperti manusia dewasa”. terang Erzan mengawalinya dengan sedih.
“Mereka melakukan suntik bius seperti melakukan suntik mati,pasalnya cara menyuntikannya langsung dalam hitungan 10 detik dengan CC obat bius yang tidak akurat, begitu anak saya dibius PPDS langsung muntah dan pingsan. Seharusnya menyuntik bayi umur 2 bulan dihitung akurat berat badannya dan harus pelan-pelan memasukan obat biusnya, namun dilakukan tidak diruang operasi akan tetapi diruang tunggu pasien operasi”. ungkap Erzan dan Maulida menangis mengenang saat awal anaknya dilakukan seperti kelinci percobaan PPDS FK-USU. Diterangkan lebih lanjut dalam surat pernyataan pihak keluarga kronologi kejadian Bayi malang yang dioperasi Hernia oleh Rumah Sakit USU tidak pernah dihadiri oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) anak, Anastesi dan Bedah.
Permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan): PASAL 190 ayat (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi:"dalam hal perbuatan sebagai mana di maksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M“.
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pda ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha, b. pencabutan status badan hukum. Hal ini akan dilakukan proses hukumnya di Poldasu dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Keluarga selain menuntut pidananya juga akan menuntut agar di cabut Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP). (Rahmat Hidayat)