Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Hendrik Yance Udam Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Rakyat Cinta Indonesia (DPN Gercin), membantah penyataan Pengamat Intelijen Suhendra Hadikuntono yang mensinyalir ada gerakan bawah tanah atau klandestein untuk menjatuhkan Jokowi. Menurut Suhendra, gerakan tersebut menggunakan isu Covid-19 hingga komunisme.
Kata HYU sapaan akrabnya, pada Jumat (18/09/2020) di Jakarta mengatakan, sangat kurang elok kalau pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terpilih secara demokratis pada pemilu 2019 sesuai dengan konstitusi Negara kita di turunkan dengan cara-cara yang tidak elegan atau inkostitusional.
"Sangat sulit menjatukan Presiden secara konstitusional, sebab tidak ada kesalahan fatal yang dilakukan Presiden. Kalau persoalan menurunnya ekonomi tidak hanya dialami Indonesia tapi juga dialami seluruh negara. Jadi tidak bisa dijadikan dasar kuat menjatuhkan Jokowi," bantah HYU menyikapi pernyataan Suhendra.
Katanya, memang di tengah pandemi covid 19 ini, situasi sangat rawan sekali, sebab kondisi ekonomi dan politik dalam negeri masih melanda bangsa kita. Oleh sebab itu isu-isu untuk menjatuhan Presiden Joko Widodo jangan dihebuskan pernah dihembuskan.
"Isu-isu seperti ini jangan pernah dihembuskan. Pernyataan Suhendra itu bisa membuat konflik politik berkepanjangan di negeri Indonesia yang kta cintai bersama," tegas HYU sosok Tokoh Nasional asal Papua ini.
Namun apa yang dikatakan Suhendra Hadikuntono bahwa ada gerakan-gerakan politik yang ingin menjatuhkan pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah merupakan sinyal positif yang harus diantisipasi oleh perangkat Negara seperti TNI/POLRI. Sehingga di Indoneia ada langkah-langkah preventif yang dilakukukan dalam menjaga NKRI dari gejolak politik dan perpecahan.
"Seandainya dipaksakan untuk Joko Widodo di lengserkan dari kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka hal tersebut bukanlah merupakan sebuah solusi strategis dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang begitu rumit," tuturnya.
Katanya, hal itu justru akan menimbulkan persoalan-persoalan baru lagi yang akan mengakibatakan stabilitas eknomi dan politik dalam negeri menjadi kacau. Ketika stabilitas politik dan ekonomi menjadi kacau maka situasi tersebut akan dimanfaatkan oleh kelompok kelompok tertentu yang memiliki kepentingan untuk mengacaukan NKRI.
"Isu-isu semangat disintegrasi bangsa yang tumbuh subur dibeberapa daerah di Indonesia, bisa menjadi pintu masuk untuk mengancaukan NKRI . Hal ini harus pula diantisipasi secepatnya oleh TNI/POLRI, sehingga gejolak politik seperti ini tidak terjadi,” jelas HYU.
Sebelumnya Suhendra, tokoh yang disegani masyarakat aceh itu memprediksi gerakan menjatuhkan Jokowi tersebut akan berpuncak pada Oktober 2020. Dimana tepat setahun periode kedua pemerintahan Jokowi.
Tokoh perdamaian Thailand Selatan itu mencium gelagat tak sedap dari lawan-lawan politik Jokowi. Bahkan yang semula merupakan kawan seiring, kini tengah menggalang kekuatan untuk menjatuhkan Jokowi.
“Jadi sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengawal dan mengamankan beliau. Jangan suka main belakang jika sudah mendukung telan itu manis pahitnya, niscaya bangsa kita akan besar dan disegani bangsa-bangsa lain. Mereka memanfaatkan media dan mahasiswa serta kelompok garis keras untuk mendukung gerakan mereka,” kata Suhendra di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mereka, kata dia, sedang menunggu ditikungan, di tengah situasi yang tak menentu akibat pandemi Covid-19 yang berujung pada ancaman krisis ekonomi dan sosial. Hingga September nanti, lanjut Suhendra, isu komunisme, radikalisme hingga kebijakan presiden akan terus diembuskan, bersahutan dengan isu Covid-19 dan ancaman krisis ekonomi.
“Ibaratnya, mereka sudah siap dengan bensin di tangan, tinggal menunggu munculnya percikan api,” tegas Suhendra.
Mahfud: Presiden Tak Bisa Diberhentikan di Tengah Jalan
Sementara itu Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan Presiden tak bisa diberhentikan di tengah jalan, karena sudah diatur UU 1945 dengan memenuhi lima persyaratan.
Pertama jika terlibat korupsi. Kedua, terlibat penyuapan. Ketiga, pengkhianatan terhadap negara. Keempat, melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun, kemudian kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi,” ujar Mahfud, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mahfud menyayangkan diskusi virtual oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bertema “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” itu batal digelar.
“Kemarin yang muncul di Yogyakarta, kita sayangkan juga tuh, di UGM mau ada seminar kemudian tiba-tiba tidak jadi,” katanya.
“Lalu ada isu makar. Padahal, ndak juga sih kalau saya baca. Kebetulan, calon pembicara di UGM itu dulu saya promotornya ketika doktor, kemudian jadi asisten. Bu Ni’matul Huda itu orangnya juga tidak aneh-aneh, dia ahli hukum tata negara,” tambahnya.
Oleh sebab itu, ia menyampaikan kepada aparat keamanan untuk tidak mengkhawatirkan pelaksanaan diskusi itu sebagai forum ilmiah. Akan tetapi, Mahfud kemudian mendapatkan informasi jika diskusi tersebut urung digelar, padahal UGM dan aparat kepolisian tidak pernah melarang pelaksanaan diskusi itu.
“Saya cek ke polisi, ndak ada polisi melarang. Saya cek rektor UGM, saya telpon Rektor UGM, pembantu rektor, apa itu dilarang? Ndak Pak itu di antara mereka sendiri,” ungkapnya.
Mengenai teror terhadap para pembicara diskusi itu, Mahfud meminta korban untuk melaporkan agar bisa segera diusut tuntas oleh pihak kepolisian. (red)
Penulis: Syafrudin Budiman, SIP