Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Penembakan terhadap pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada Sabtu (19/9) menambah panjang daftar korban sipil dalam konflik bersenjata di Papua. Kasus ini bukan kali pertama di tahun 2020, sebelumnya pada 18 Juli lalu, dua warga sipil Elias Karunggu (40) dan putranya Selu Karunggu (20) juga menjadi korban penembakan aparat di Nduga.
Kemudian pada 13 April, Eden Armando Bebari (19) dan Roni Wandik (23) juga menjadi korban penembakan yang oleh aparat di Distrik Kwamki Narama, Timika Papua.
Hal ini disampaikan Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, melalui rilisnya, Jumat (02/10/2020).
Menurutnya, pengarusutamaan pendekatan keamanan dalam konflik Papua juga memakan korban jiwa dari pihak TNI. Di tahun 2020 ini, lebih kurang tercatat tiga [3] prajurit TNI yang meninggal dunia. Pada 9 Maret lalu, dalam baku tembak dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Koramil Jila, Mimika, Papua, Personel TNI Sertu La Ongge mengalami luka tembak.
Setelah di evakuasi ke Timika, korban lalu meninggal dunia. Lalu pada 19 September, Pratu Dwi Akbar Utomo juga meninggal dalam baku tembak di Kab Intan Jaya. Kemudian pada 20 September, prajurit Serka Sahlan menjadi korban penembakan dan meninggal dunia saat menjalankan tugas mengantar logistik;
"Pendekatan halus (soft approach) dalam bentuk negosiasi yang dilakukan terhadap GAM di Aceh seharusnya juga dapat diterapkan di Papua. Terlebih, para aktor yang terlibat ketika itu masih hidup, seperti Kepala BIN ketika itu, Sutiyoso," kata Ikhsan.
Sebelumnya, melalui strategi pendekatan, kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Din Minimi telah menyerahkan diri pada 2015 lalu. Penyerahan diri Din Minimi itu kemudian diikuti oleh 120 orang anak buahnya dan menyerahkan persenjataan yang mereka pegang (bbc, 29/12/2015).
"Dengan demikian, penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa memakan korban jiwa lagi, terutama dari masyarakat sipil," ujarnya memberi contoh.
Selanjutnya, respon saling klaim atas penembakan yang memakan korban jiwa justru mencerminkan pengarusutamaan HAM dan Human Security sangat minim dalam konflik Papua. Dalam dua kasus penembakan pada Juli dan April tersebut, aparat selalu mengklaim para korban merupakan bagian dari pejuang kemerdekaan Papua.
"Sementara berdasar keterangan pemerintah daerah dan pengakuan masyarakat setempat justru para korban merupakan masyarakat biasa yang tengah mencari ikan dan pengungsi Nduga yang menyelamatkan diri dari konflik berkepanjangan. Pengklaiman sepihak ini juga mencerminkan nihilnya pertanggungjawaban aparat atas penembakan yang meraka lakukan terhadap warga sipil, karena selalu mencari pembenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang mereka lakukan di Papua," jabarnya.
Sementara itu Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute mengatakan, pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua.
Kata Bonar, pendekatan keamanan hanya akan menjadi api dalam sekam, karena perspektif keamanan dan stabilitas negara hanya mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah bergejolak kembali stabil dan kondusif, sementara substansi permasalahan luput.
"Pendekatan keamanan juga hanya akan semakin menambah daftar korban jiwa, baik dari aparat, kelompok pejuang kemerdekaan, serta masyarakat sipil yang tidak bersalah," ungkapnya.
Menurutnya, pelbagai narasi terkait lepasnya Papua jika aparat ditarik dari Bumi Cenderawasih hanya mencerminkan watak pemerintah dalam penggunaan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik, serta legitimasi dan pemapanan pendekatan keamanan dalam menangani konflik di Papua;
"Dalam penyelesaian konflik di Papua, Pemerintah pusat seharusnya mengedepankan bagaimana cara untuk memastikan rasa aman dan keamanan masyarakat Papua terlebih dahulu, mengingat warga sipil juga menjadi korban penembakan. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta aparat dan pihak kelompok bersenjata untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan, sehingga korban jiwa tidak ada lagi," urainya panjang lebar.
Selain itu kata Bonar, juga dapat dilakukan pendekatan kenegaraan dengan mengirimkan utusan khusus (special envoy) ke Papua untuk membangun komunikasi yang konstruktif dan menyelesaikan persoalan sampai keakar-akarnya dengan pihak-pihak terkait di Papua. Special envoy ini juga harus dipastikan merupakan pihak yang dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat Papua, sehingga tidak dianggap sebagai utusan yang sifatnya formalitas atau politis dari pusat.
"Dengan demikian, upaya menjaga Papua tetap di NKRI dapat dilakukan tanpa senjata, karena upaya-upaya ini dapat mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, atau pun pemecah masalah keamanan," tuturnya.
Terakhir kata Bonar, daftar panjang korban jiwa dalam konflik di Papua menjadi preseden buruk terhadap tanggung jawab negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Upaya melindungi yang dilakukan negara seharusnya juga dengan menghadirkan penegakan hukum yang berkeadilan, pemerataan pembangunan, dan pemberantasan kemiskinan, sehingga masyarakat Papua merasa dilindungi secara komprehensif.
"Kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya tidak dapat dilakukan setengah-setengah lagi. UUD 1945 pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) secara eksplisit telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, serta berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia," pungkasnya. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP