Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Dewan Pimpinan Pusat Solidaritas Putih (DPP SMP) menyatakan mendukung penuntutan dan vonis hukuman mati pagi para koruptor dana bantuan sosial. DPP SMP juga mendukung pernyataan Firli Bahuri Ketua KPK RI Juli 2020 lalu, bahwa akan melakukan tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran penanganan Covid-19.
"Kami Ormas SMP mendukung penuntutan dan vonis hukuman mati untuk para koruptor dana bansos. Apalagi di tengah pandemi Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional masih ada pejabat mencuri-curi kesempatan untuk korupsi," ujar Anshar Ilo Ketua Umum DPP SMP saat dihubungi, Selasa (08/12/2020) di Jakarta.
Menurut Ilo dengan tertangkapnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju di bawah pemerintahan Jokowi - KH Ma'ruf Amin menunjukkan masih ada yang lemah dalam kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan. Sehingga katanya, perlu penguatan lagi fakta integritas agar para menteri tidak akan terlibat korupsi dan siap dihukum mati, jika terlibat korupsi di era saat ini.
"Sebenarnya Ketua KPK Firli Bahuri sudah mengingatkan bahwa tindakan pidana korupsi di masa bencana atau pandemi dapat diancam dengan hukuman mati. Dimana KPK tidak akan main-main dan akan benar-benar menuntut mati, kalau ada yang tertangkap. Bahkan dieksekusi hukuman mati," terang Anshar Ilo yang juga Ketua Umum Loyalis Erick Thohir (Letho) for Jokowi-Amin.
Kata Ilo ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Noor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beleid pasal itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
"Kita menghargai pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan menghormati proses hukum yang sedang dilakukan KPK dan tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi. Namun dalam penguatan kabinet diperlukan komitmen dan pakta integritas untuk siap dihukum mati jika terlibat korupsi di masa pandemi ini," jelas Ilo.
DPP SMP juga mendukung Pemerintah Jokowi, agar terus konsisten mendukung KPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi Jokowi juga sudah menegaskan kepada seluruh pejabat negara untuk tidak menggunakan dana APBN maupun APBD provinsi, kabupaten, dan kota secara serampangan pada pidatonya, Sabtu (06/12/2020).
"Bagaimanapun Itu uang rakyat, apalagi ini terkait dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos ini sangat dibutuhkan untuk rakyat," tandasnya.
Korupsi Bantuan Sosial di Kementerian Sosial
Sebelumnya, Menteri Sosial Juliari P. Batubara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19. Status tersangka Juliari ini turut menjerat pejabat Kemensos dan sejumlah pihak yang menjadi pemberi suap.
Perkara ini berawal dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 Triliun. Adapun total kontrak sebanyak 272 kontrak dan dilaksanakan dua periode.
Juliari lalu menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan caranya penunjukan langsung para rekanan.
KPK mengungkap ada kesepakatan fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus.
Untuk fee tiap paket bansos, disepakati sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos yang akan diterima Juliari.
Pada bulan Mei hingga November, Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya Ardian I. M. (AIM), Harry Sidabuke (HS) dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari Peter Batubara) dan disetujui oleh AW (Adi Wahyono)," ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers 6 Desember lalu.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, diduga diterima fee sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 Miliar.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N) yang merupakan orang kepercayaan Juliari sekaligus Sekretaris di Kemensos untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. SN juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Sementara untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober-Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.
Selain Juliari, empat orang lain menjadi tersangka yakni Matheus, Adi, sebagai penerima dan Ardian serta Hari sebagai pemberi.
Juliari disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (red)
Penulis: Syafrudin Budiman SIP