Direktur Nurani Strategic Consulting (NSC) - (Foto Istimewa).
Makassar, Kabartujuhsatu.news, -Pilkada 2020 telah usai. Meski belum sampai di tahapan akhir yaitu penetapan calon terpilih, tetapi nyaris semua KPU di 270 daerah yang menggelar Pilkada Serentak tahun ini telah menyelesaikan tahapan rekapitulasi suara di tingkat akhir.
Berbagai masalah muncul terutama karena inilah untuk pertamakalinya pilkada digelar dalam kondisi serba memprihatinkan akibat serangan pandemi COVID19. Penyelenggara pilkada yaitu KPU dan Bawaslu berjibaku dengan sangat keras untuk menghadapi problem - problem teknis pilkada yang makin berat karena pandemi.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada KPU dan Bawaslu karena hingga saat ini tak ada hal yang begitu krusial mengganggu keseluruhan pelaksanaan pilkada. Kerjasama dengan aparat keamanan dalam hal ini Polri berjalan dengan baik sehingga pilkada relatif berjalan sangat lancar.
Di Sulsel, fenomena - fenomena baru yang positif dan juga negatif menyertai pelaksanaan pilkada bermunculan. Angka partisipasi cukup menggembirakan karena berada di angka rata-rata 70 - 72 persen, jauh di atas target nasional 60 persen.
Angka partisipasi tertinggi berada di Selayar dengan 83,1 persen dan terendah dipegang Kota Makassar dengan 59,6. Angka itu positif karena pelaksanaan pilkada dibayangi ketakutan pemilih datang ke TPS karena pandemi COVID19 .
Di tengah itu semua juga muncul fenomena baru dalam pilkada ini, seperti misalnya adanya sinyalemen dan dugaan pola permainan tak lazim di tingkat TPS pada Pilkada Soppeng berupa warga yang bertaruh dengan angka-angka persentase perolehan suara.
Fenomena ini benar-benar di luar nalar karena selama ini jarang terjadi di kontestasi mana pun.
Kondisi ini melahirkan kegamangan baru dalam demokrasi kita dan seharusnya menjadi bahan kajian bagi semua stakeholder terutama para penggiat demokrasi di Indonesia.
Meski belum bisa dibuktikan, tetapi sinyalemen ini sudah menjadi rahasia umum dan marak dibicarakan di tengah warga.
Fenomena lain adalah tingginya partisipasi pemilih pada sebuah daerah ternyata bukan semata - mata kerja keras penyelenggara.
Pada beberapa daerah 'money politics' yang disertai mobilisasi secara ekstrem terhadap pemilih, mendorong laju kenaikan partisipasi.
Sehingga, ada asumsi baru yang menyatakan bahwa tingginya partisipasi boleh jadi disebabkan karena tingginya politik uang di sebuah daerah.
Hal itu terjadi karena praktek politik uang sebelum pelaksanaan pemungutan suara ternyata diiringi dengan mobilisasi pemilih oleh tim sukses Paslon ke TPS.
Pagi hari sebelum ke TPS, para tim sukses Paslon sudah menunggu pemilih di muka-muka rumah untuk menjemput pemilih ke TPS. Pemilih "dipaksa" ke TPS karena sudah menerima sesuatu beberapa hari sebelumnya.
Pada beberapa daerah, pelanggaran atas protokol kesehatan juga masih terjadi. Pengumpulan massa dengan alasan tak bisa dihindarkan karena massa sendiri yang datang, tak boleh lagi terulang di pilkada selanjutnya. Harus ada payung hukum yang lebih keras dan tegas untuk setiap Paslon yang tak bisa mengendalikan dan mengatur pendukungnya ketika masa kampanye.
Inilah fakta-fakta terkait pilkada serentak 2020 lalu. Namun secara keseluruhan kita patut berbangga dengan hasil yang sudah diperlihatkan.
Tak ada alasan untuk tak melanjutkan pilkada serentak berikutnya yang rencananya akan digelar Juni 2022. Kekhawatiran akan munculnya secara massif kluster baru COVID19 di pilkada ternyata tak terjadi.
Hanya ada beberapa titik dimana COVID19 menyebar di pilkada namun tak bersifat massif. Selamat datang Pilkada Serentak 2022. (*)