Kabartujuhsatu.news, Ada tiga tujuan dalam mempelajari ilmu poltik : Pertama, perspektif intelektual.
Sebenarnya tujuan politik adalah tindakan politik. Untuk mencapai itu diperlukan pembelajaran untuk memperbesar kepekaan sehingga ia dapat bertindak.
Agar dapat bertindak dengan baik secara politik, orang perlu mempelajari azas dan seni politik, nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat. dengan demikian orang belajar, bagaimana kekuasaan dapat dijinakkan dan diabadikan kepada tujuan manusia yang positif.
Metode pembelajarannya pun sudah mengenal metode yag bersifat kritis.
Tujuannya untuk menelaah kesalah-kesalahan dan berusaha untuk mengurangi ketidaktahuan.
Walapun ajaran kritis tersebut pada prinsipnya bersifat intelektual, tetapi dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat praktis.
Jadi perspektif intelektual dalam politik adalah perspektif yang mempergunakan diri sendiri sebagai titik tolak. Sebab perspektif itu bertolak dan dibangun berdasarkan apa yang dianggap salah oleh individu, maka pemikiran individu itu yang akan memperbaikinya.
Kedua, perspektif politik : pandangan intelektual mengenai politik tidak banyak berbeda dengan pandangan politisi.
Bedanya terletak jika politisi bersifat segera, sedangkan intelektual dapat menjadi politisi jika ia mampu memasukkan masalah politik dalam pelayanan suatu kepentingan ataupun tujuan.
Sebagai contoh sebuah kasus dengan adanya system pemilihan langsung di Indonesia, banyak intelektual yang bersedia menjadi calon legislative dan eksekutif pusat dan daerah. Dengan kampanye yang bergaya orator mendadak, dalam waktu singkat mereka mempersiapkan dan menggunakan strategi dari yang teoritik menjadi suatu kerangka kerja yang bersifat praktik.
Sedangkan kaum intelektual menaruh perhatian dalam tiga dimensi yaitu, hari kemarin, hari ini, dan hari esok.
Ketiga, perspektif ilmu politik : dalam hal ini politik dipandang sebagai ilmu. Jika para politisi memandang politik sebagai pusat kekuasaan publik, maka kaum intelektual memandang politik sebagai perluasan pusat moral dari diri.
Tentu saja ilmuwan politik professional memandang politik sebagai suatu system, sebagai perubahan-perubahan terorganisir yang saling berinteraksi yang meliputi pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan, kebijaksanaan termasuk individu-individu.
Menurut Leo Straus (1959) dan Sheldon Wolin (1960) mengemukakan bahwa tugas untuk ilmu politik adalah untuk mendapat kearifan tentang sifat-sifat manusia dan politik.
Kemudian muncul pendapat serupa yang lebih mutakhir, adalah Robert Flower dan Jeprey Orenstein (1985) yang mengemukakan bahwa ilmu politik terutama teori-teori politik melibatkan refleksi konsep-konsep politik dasar, analisis pandangan-pandangan alternative tentang manusia dan politik serta pengejaran kebenaran normative tentang sifat-sifat rezim terbaik.
Ditinjau dari sisi ini maka filosofi politik adalah kegiatan yang kreatif dan kritis dimana setiap generasi bisa berpartisipasi dalam tradisi berkelanjutan yang menyatukan masa kini dan masa lalu (Losco dan Williams, 2003 :2).
Politik tetap merupakan sesuatu yang manusia lakukan. Bukannya sesuatu yang mereka miliki. Atau lihat, atau bicarakan, atau pikirkan.
Mereka yang akan melakukan sesuatu dengannya harus lebih dari sekedar berfilosofi dan filosofi yang secara politik mudah dipahami harus mengambil tindakan politik sepenuhnya dari politik sebagai sebuah sikap. (Liberal Philosophy in Democratic Times: 1988).