Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah melalui Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) perlu memaksimalkan penyerapan beras dari petani sebelum memutuskan untuk mengimpor beras.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann mengatakan, memasuki masa panen pada Maret hingga April, produksi beras dalam negeri dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Bulog.
"Pemerintah dapat memaksimalkan penyerapan beras dari petani karena berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), terdapat peningkatan produksi di 2020 kalau dibandingkan dengan 2019," kata Felippa dalam keterangan tertulis, Rabu, 10 Maret 2021.
BPS mencatat bahwa produksi beras pada 2020 mencapai 31,63 juta ton atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar sebesar 31,31 juta ton. BPS menyebut angka produksi tersebut diperoleh dari luas panen padi 2020 yang mencapai 10,79 juta hektare, mengalami kenaikan 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen pada 2019 yang sebesar 10,68 juta hektare.
Sementara itu, izin impor yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dari masih kurangnya pasokan beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk cadangan bencana maupun krisis pangan.
Felippa menambahkan, eksekusi impor beras harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti ketersediaan pasokan di dalam negeri, hasil panen dan juga harga beras internasional yang sedang murah. Selain itu perlu dipertimbangkan bahwa proses impor memakan waktu yang lama, dari pembelian hingga distribusinya.
Izin impor yang sudah dikeluarkan dapat digunakan sewaktu-waktu dalam merespons permintaan dalam negeri. Antisipasi bertambahnya permintaan beras dari dalam negeri perlu dilakukan menjelang datangnya Ramadan dan juga Idulfitri.
Selain itu, lanjut dia, ketersediaan pasokan beras yang mencukupi juga merupakan bentuk antisipasi atas kemungkinan krisis pangan akibat pandemi covid-19. Pandemi covid-19 telah menimbulkan kerawanan pangan bagi banyak masyarakat Indonesia. Survei Bank Dunia mencatat 23 persen dari rumah tangga mengalami kekurangan pangan.
Untuk itu, Indonesia perlu memastikan ketersediaan pasokan pangan, salah satunya beras, supaya menjaga kestabilan harga maupun meningkatkan penyaluran pangan melalui sembako dan bantuan pangan, sehingga dapat dijangkau semua lapisan masyarakat.
Felippa mengingatkan pentingnya data yang akurat sebagai salah satu basis pengambilan kebijakan di sektor pertanian, termasuk impor. Data akurat dan harmonis antar semua institusi dapat dijadikan basis pengambilan kebijakan yang efektif dalam sektor pertanian. Diharapkan hal ini dapat membantu perumusan kebijakan impor sejak dari jauh-hari, selain juga perlu mempertimbangkan panjangnya proses impor.
Selain itu, dirinya juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas petani beras dalam negeri. Penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam, dan dua kali lebih mahal dari Thailand.
Studi ini juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam yang hanya Rp1.679, hampir dua kali lipat biaya produksi Thailand di harga Rp2.291. dan India di harga Rp2.306.
Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan biaya produksi di Filipina di harga Rp3.224 dan Tiongkok di harga Rp3.661.
"Peningkatan kapasitas petani dalam negeri juga perlu ditingkatkan. Hal ini penting supaya proses produksi beras dalam negeri menjadi lebih efisien. Efisiensi proses produksi akan meningkatkan kualitas beras dan meningkatkan daya saing beras hasil panen petani," pungkasnya.
(Nia Deviyana)