Yangon (Myanmar), Kabartujuhsatu.news,- Aparat keamanan Myanmar menembak mati delapan demonstran penentang kudeta militer pada Jumat (19/3).
Seperti dilansir Reuters, Jumat (19/3), militer dan polisi telah menggunakan taktik yang semakin brutal dan keras untuk menekan aksi demonstrasi oleh para pendukung pemimpin terpilih yang ditahan Aung San Suu Kyi.
Tindakan brutal yang memakan korban jiwa itu dilakukan aparat keamanan Myanmar untuk membubarkan demonstran di kota pusat Aungban, dan kemudian menembaki mereka ketika mencoba membersihkan barikade. Pasukan keamanan juga menggunakan gas air mata.
Aparat keamanan Myanmar juga kembali menangkap dua jurnalis, termasuk seorang wartawan BBC, kata media.
"Pasukan keamanan datang untuk membubarkan demonstran tetapi orang-orang menolak, dan mereka melepaskan tembakan," kata seorang saksi, yang menolak untuk diidentifikasi, melalui sambungan telepon.
Seorang pejabat layanan kematian di Aungban, yang menolak untuk diidentifikasi, mengatakan kepada Reuters, bahwa delapan orang tewas.
Dia menjelaskan, tujuh orang tewas di tempat, dan satu yang terluka dan akhirnya meninggal setelah dibawa ke rumah sakit di Kota Kalaw terdekat.
Juru bicara junta militer tidak berkomentar mengenai insiden tersebut, tetapi mengatakan pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan hanya bila diperlukan. Para kritikus telah mencemooh penjelasan itu.
Jumlah total yang tewas dalam beberapa minggu ini telah meningkat menjadi setidaknya 232 orang, menurut laporan terbaru kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Negara-negara Barat telah mengutuk kudeta dan menyerukan diakhirinya kekerasan, dan menuntut pembebasan pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi.
Tetangga Asia Tenggara, yang dipimpin oleh Indonesia, telah menawarkan untuk membantu menemukan solusi, tetapi pertemuan regional 3 Maret gagal membuat kemajuan berarti di Myanmar.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 orang telah lama berpegang pada prinsip untuk tidak mengomentari urusan internal satu sama lain, tetapi ada tanda-tanda yang berkembang krisis Myanmar memaksa untuk meninjau kembali aturan itu.
Duta Besar Myanmar untuk PBB yang secara terbuka berseberangan dengan junta, mengatakan, komite anggota parlemen yang digulingkan sedang melihat cara-cara agar mereka dapat bertanggung jawab atas tindakan kekerasan sepanjang kudeta.
Anggota parlemen yang digulingkan tegah mengeksplorasi kemungkinan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat menyelidiki kejahatan terhadap kemanusiaan sejak kudeta militer.
Di Jenewa, para pakar hak asasi manusia (HAM) PBB mengecam pembubaran paksa, penahanan sewenang-wenang, dan pembunuhan demonstran pro-demokrasi.
Mereka menyatakan, pemerintah asing harus mempertimbangkan untuk menarget mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Adapun, informasi di Myanmar menjadi semakin sulit untuk diverifikasi setelah pihak berwenang membatasi layanan internet yang digunakan pengunjuk rasa untuk mengatur dan memposting laporan dan gambar.
(Sumber : Tribunnews