Pengamat Hukum Politik
Jakarta, -Kabartujuhsatu.news,-Jokowi lagi - lagi menantang kewibawaan hukum di negeri ini. Sehingga dapat dipertanyakan, apakah benar hukum hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Bila benar begitu, maka ini menjadi tagihan baru pada janji Calon Kapolri awal tahun 2021 saat menjalani _fit and proper test_ di depan para anggota Dewan.
Berbagai video terkait Jokowi menjadi viral terkait pelanggaran protokol kesehatan (kesehatan). Lihat saja video seperti Kerumunan Maumere, perkawinan Artis Atta Halilintar, dan lainnya.
Meski negara ini belum bebas covid, namun ia cuek saja dengan menebar senyum dan aksi uniknya memberikan pakaian kepada anak muda di depan ribuan massa.
Jokowi lupa bahwa pada saat ini Negara masih memberlakukan dengan ketat Undang-Undang Protokol Kesehatan agar masyarakat terlindungi dan terjaga kesehatannya. Tidak mati konyol satu per satu setiap menit demi menit berlalu.
Video yang beredar sudah sangat jelas terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi sebagai Presiden kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara.
Pengamat Hukum Politik Suta Widhya SH menilai bila yang dilakukan oleh Jokowi seakan kebas terhadap sentuhan hukum. Padahal apa yang dilakukan Jokowi di lapangan terus-menerus timbulkan kerumunan. Bahkan diduga ada unsur kesengajaan langgar protokol kesehatan (prokes).
Apakah bila menyangkut Jokowi diperkenankan untuk mengajak masyarakat langgar UU Prokes? Apakah ini bentuk tindakan arogansi kekuasaan? Bila begitu, niscaya masyarakat akan mencari referensi surat terbuka Ruslan Buton yang sedikit demi sedikit terurai dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Perilaku Jokowi yang _anomali_ dengan tebar pesona di tengah kerumunan massa sungguh sebuah ujian sikap ambivalen aparat penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat." Ungkap Suta lebih lanjut.
"Apa yang dilakukan Jokowi sebuah bentuk arogansi sok kuasa dan semena mena. Ia seperti bebas nilai. Sementara itu yang dianggap melanggar UU Prokes sepeti Habib Rizieq Shihab ditangkap, ditahan dan diadili. Bahkan seperti _kejar setoran_, sehingga para pendukung dan simpatisan HRS dikejar dan organisasi FPI distempel sebagai organisasi terlarang. Apakah ini yang dinamakan demokrasi Pancasila?" Tanya Suta.
Menurut Suta, bila HRS ditangkap dan diadili karena kerumunan, selayaknya Jokowi juga bisa diperlakukan seperti HRS. Ini baru namanya _equality before the law_. Persamaan hak dan kewajiban di mata Hukum.
Hingga saat ini Jokowi tidak dikenai sanksi seperti HRS. Tindakannya dengan membuat kerumunan dibiarkan oleh aparat kepolisian. Apa karena ia dijaga oleh kepolisian seperti juga ada penjagaan atas semua kerumunan HRS?
Jokowi telah menyeret negara ini menjadi negara kekuasaaan (Machtsstaat) bukan lagi sebagai negara berdasarkan hukum (Rechtssaats). Ia seakan telah menjadi pembesar yang semena-mena bisa berbuat apa saja. Hukum, keadilan dan UU seakan telah dikangkangi oleh kekuasaan. Sebuah kerusakan akut dan _suistainable._
"Menurut kami Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kudu meminta Jokowi berhenti membangun pencitraan di tengah Pandemi COVID-19 Corona ini dengan tidak lagi mengundang dan membuat kerumunan. Bila tidak juga diindahkan, maka ia dimungkinkan dimakzulkan," Tutup Suta. (Red/SW).