Kabartujuhsatu.news, -"Terimalah semua kekayan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia ......_" dilontarkan oleh Muhammad Ali Taher, seorang saudagar kaya berkebangsaan Palestina di awal perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setahun sebelum Indonesia diproklamirkan (1944), Muhammad Ali Taher sudah menawarkan bantuan uang di sejumlah bank di Arab tanpa meminta tanda bukti apapun dari Bangsa Indonesia. Begitulah dukungan rakyat Palestina untuk kemerdekan Indonesia. Hal itu kiranya penting untuk diketahui bangsa Indonesia, terutama para generasi mudanya.
Apalagi ketika bangsa Palestina dalam kondisi seperti saat ini, dijajah oleh bangsa Israel. Jika ribut-ribut di negara-negara Arab, misalnya di Mesir, Palestina atau Suriah, anak - anak kita nyinyir sering bertanya, "apa signifikasinya untuk memberikan dukungan terhadap negara Palestina tersebut. Padahal urusan dalam negeri kita saja tidak beres memberikan perhatian?"
"Sering kita mendengar komentar-komentar bernada miring, ‘mengapa harus ikut-ikutan demo, mendukung Palestina, apalagi kita sendiri sedang susah, kenapa repot-repot ngurusin negara lain, dan berbagi macam komentar lainnya." Kata Pengamat Hukum Politik Suta Widhya SH, Minggu (16/5) malam di Jakarta.
Menurut Suta, untuk yang belum mengetahui sejarah bahwa kita sebagai orang Indonesia malah berhutang dukungan untuk Palestina, maka sebaiknya membuka file sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan lebih komprehensif lagi. Dimana nantinya akan ditemui kenyataan, Palestina adalah negara di jazirah Arab yang lebih dulu mengakui sebelum India dan negara - negara lainnya.
"Memang benar Soekarno – Hatta atas nama rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI defacto 17 Agustus 1945, tetapi perlu diingat bahwa untuk berdiri (secara dejure) sebagai negara yang berdaulat, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain. Dan Palestina sudah lakukan itu untuk kemerdekaan Indonesia pada Jumat pagi 17 Agustus 1945, " lanjut Suta.
Pada poin ini kita tertolong dengan adanya pengakuan dari tokoh-tokoh Timur Tengah, sehingga negara Indonesia bisa berdaulat.
Dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku ‘Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh.Hatta (Proklamator dan Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jendral (Besar) A.H.Nasution.
M.Zein Hassan Lc.Lt, sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal.40, menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekan Indonesia, di saat negera-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina, secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia.
“..... pada 6 September 1945, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebar luaskan, bahkan harian, “Al-Ahram yang tekenal telitinya juga menyiarkan.” Syekh Muhhamad Amin Al Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat di negeri ini.
Syekh Muhammd Amin Al-Husaini seorang ulama yang kharismatik, mujahid, mufti Palestina yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap kaum muslimin serta negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia, walaupun pada saat itu beliau sedang berjuang melawan imperialis Inggris dan Zionis yang ingin menguasai kota Al Quds, Palestina.
Beliau memiliki nama lengkap Muhammad Amin bin Muhammad Thahir bin Mustafa Al-Husaini, gelar mufti Palestina Al-Akbar (Mufti Besar Palestina), lahir di Al-Quds pada tahun 1893. Diangkat menjadi mufti Palestina pada tahun 1922 menggantikan saudaranya Muhammad Kamil Al-Husaini.
"Sebagai ulama yang berilmu dan beramal, memiliki wawasan yang luas, kepedulian yang tinggi, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini mengetahui dan merasakan penderitaan kaum muslimin di Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia akibat penjajahan yang dilakukan kaum kolonial."Tegas Suta.
Dukungan terhadap kaum muslimin dan negeri-negeri muslim untuk merdeka dari belenggu penjajahan senantiasa dilakukan oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, termasuk dukungan bagi kemerdekaan Indonesia.
Ketika tidak ada suatu negara dan pemimpin dunia yang berani memberi dukungan secara tegas dan terbuka terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini mufti Palestina menyampaikan selamat atas kemerdekaan Indonesia.
Setelah berjuang tanpa mengenal lelah, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini wafat pada tanggal 14 Juli 1974, dimakamkan di pekuburan Syuhada, Al-Maraj, Beirut, Libanon.
Kaum muslimin dan tokoh pergerakan Islam menangisi kepergian ulama pejuang, pendukung kemerdekaan Indonesia, mufti pembela tanah waqaf Palestina, penjaga kemuliaan masjid Al-Aqsa.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Soekarno – Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.
Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher.
Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata, “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia....”
Setelah seruan itu, maka negara daulat yang yang berani mengakui kedaulatan RI pertama kali adalah Mesir pada tahun 1949.
Pengakuan resmi Mesir itu (yang disusul oleh negara-negara Timur Tengah lainnya) menjadi modal besar bagi RI untuk secara sah diakui sebgai negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
Pengakuan itu membuat RI berdiri sejajar dengan Belanda (juga dengan negara-negara merdeka lainnya) dalam segala mecam perundingan dan pembahasan tentang Indonesia di lembaga internasional.
Dukungan Terus Mengalir
Setelah itu, sokongan dunia Arab terhadap kemerdekaan RI menjadi sangat kuat. Para pembesar Mesir, Arab dan Islam membentuk ‘Panitia Pembela Indonesia’.
Para pemimpin negara dan perwakilannya di lembaga internasional PBB dan Liga Arab sangat gigih mendorong diangkatnya isu Indonesia dalam pembahasan di dalam sidang lembaga tersebut.
Di jalan-jalan terjadi demonstrasi-demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah. Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 Nopember 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda – Inggris merebak di Timur Tengah khususnya Mesir.
Sholat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer belanda ke-1 tanggal 27 Juli 1947. Pada 9 Agustus saat kapal ‘Volendam’ milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said.
Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor boat dengan bendera merah-putih sebagai tanda solidaritas, berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motor-motor boat perusahaan asing yang ingin mensuplai air dan makanan unntuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Zues, hingga kembali ke pelabuhan.
Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk ‘Volandem’ bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr.Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir.
Wartawan ‘Al-Balagh’, pada 10/8/1947 melaporkan, motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-motor besar itu dan sebagian mereka dapat naik keatas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokan motor boat besar itu kejurusan lain.
Melihat fenomena itu, majalah Time (25/1/1946) dengan nada menakut-nakuti Barat dengan kebangkitan Nasionalisme – Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia akan menginspirasi negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa.
Melihat peliknya usaha Indonesia untuk merdeka, kiranya bangsa Indonesia yang saat ini merasakan nikmatnya hidup berdaulat tidak lantas melupakan peran bangsa Palestina dalam membantu perjuangan Indonesia.
(Ratman/berbagai sumber)