Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Budaya malu identik dengan budaya tertib. Di ranah Minang sejak dulu penumpang perempuan duduk di bangku paling depan dalam bus kota di Kota Padang dan kota-kota lainnya di Sumatra Barat.
Jakarta baru ikuti budaya itu sekitar 10 tahun belakangan di dalam bus Trans Jakarta setelah sering terjadi kasus pelecehan.
Bagaimana bisa berhasil sebuah program Revolusi Mental, bila rakyat tidak pernah dikasih pendidikan budaya tertib.
Budaya tertib bukan hanya urusan antrian di loket saja. Tapi juga meliputi budaya menepati aturan yang sudah dibuat baku.
Contohnya, sering terlihat di bus-bus trans Jakarta, perempuan duduk di bangku khusus laki-laki, padahal bangku khusus perempuan masih kosong. Ada apa ini gerangan kiranya?
Dana untuk Revolusi Mental mungkin sudah habis untuk membuat situs Internet di Kementrian yang kini sudah ditinggali dan beralih ke Gedung Legislatif. Tapi, bukan karena habis lalu tidak ada bekas sama sekali.
Mengapa penumpang perempuan masih ada yang tidak duduk di tempat khusus perempuan, padahal jelas terlihat masih kosong? Dan sopir pun diam saja melihat keadaan tanpa menegur, padahal di depan sopir ada monitor tv yang gunanya untuk mengoreksi ketidakbenaran?
Pertama, mungkin perempuan tersebut tidak pandai baca alias buta huruf.Kedua, ingin atau suka untuk disapa penumpang lelaki di disebelahnya. Siapa tahu berjodoh. Ketiga, tidak ada laki-laki yang berani menegur agar pindah ke depan. Keempat, tidak ada lagi kernet yang biasa memberikan peringatan agar duduk di tempat khusus perempuan. Kelima, masa bodo dengan aturan meski saat itu kondisi lengang.
Agar laki-laki tidak selalu jadi korban, harapan satu-satunya sopir bus harus tegas memanggil penumpang perempuan agar penuhi dulu bangku paling depan. Tidak peduli apakah perempuan itu dengan pasangannya atau tidak.
Ketentuan di atas tidak berlaku andai bangku khusus perempuan sudah terisi penuh.Silakan deh cari bangku di belakang. (Sw).