Kabartujuhsatu.news, - Meski disibukkan oleh serbuan Covid-19, semua pihak harus mewaspadai “latennya” kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Awal Juli 2021 di Pandeglang, Banten, tiga perempuan bawah umur menambah deret panjang catatan korban kejahatan seksual serupa di Tanah Air.
"Di tengah beragamnya varian media saat ini, beruntung media online juga eksis menyebar info terus terjadinya peristiwa memilukan serupa itu, sehingga saya dapat mengikuti perkembangannya. Tetapi, peran mengedukasi masyarakat untuk lebih peka dan bangkit mencegah, agar lebih konkret dimasifkan lagi,” kata Pemerhati Komunikasi Kepolisian dan Budaya, Suryadi, M.Si, Rabu (14/7) di Jakarta.
Sementara itu secara terpisah di Serang, Banten, Ketua Umum Lembaga Pendidikan Mathlaul Anwar, K.H. Ki Embay Mulya Syarif dan akademisi UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH), Dr. Ade Fartini, S.Ag., M.H. sependapat bahwa pemecahan masalah rawannya kejahatan seksual, butuh pelibatan semua pihak sehingga tidak terkesan parsial.
Mengingat masalah tersebut sudah terjadi di mana-mana di Tanah Air, lanjut Ki Embay, maka kepekaan dan tanggung jawab harus muncul dari semua pihak untuk menanggulanginya secara holistik.
"Masyarakat kita sedang sakit. Jadi, selain Covid yang harus diatasi, ada soal-soal ekonomi dan moral. Sementara agama yang sesungguhnya sangat komprehensif, sudah seharusnya para pemukanya mengambil peran lebih besar lagi di samping berkutat pada porsi ritual,” kata salah satu pendiri Provinsi berjuluk “Beribu Ulama, Beribu Santri” ini.
Setelah serbuan virus corona mulai Februari 2019, hingga kini Indonesia masih merupakan salah satu dari ratusan negara yang sibuk menanggulangi berjangkitnya Covid-19 beserta dampak yang mengikutinya. Kata Suryadi, dampak ikutan itu, termasuk masalah perekonomian yang berimbas berat pada kehidupan masyarakat, terutama kalangan yang rentan di bawah-bawah.
Di Pandeglang dan Antero Tanah Air Polda Banten yang membawahkan enam Polres/ta pada pekan terakhir Juni 2021 mengungkapkan, sepanjang 2019 sampai 2021 menangani 571 tindak pidana kekerasan pada perempuan dan anak. Dari jumlah ini, 458 kasus merupakan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak bawah umum (TPPT-ABU), dengan angka tertinggi di wilayah hukum Polres Pandeglang.
Sejumlah pemberitaan media menyebutkan, tiga pemuda pada Kamis 1 Juli 2021 meyekap dan memerkosa tiga ABU, yaitu SN (13), N (14) dan NR (12) di rumah salah satu tersangka di Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang. Ketiga korban yang masih dalam ikatan persepupuan itu adalah warga Mandalawangi, Pandeglang.
Peristiwa itu terlambat diketahui oleh orangtua korban. Setelah hari ketiga pencarian (3/7), ketiga korban baru ditemukan di rumah salah satu tersangka di Kaduhejo yang tengah ramai dikepung massa. Polisi yang menerima laporan menangkap dua tersangka, AI (18), AP (18), sepekan kemudian (7/7) di rumah masing-masing di Kampung Garokgek dan Monggor, Desa Cempaka, Kecamatan Kaduhejo. Satu tersangka lagi, HS (23) kabur dan kini masuk daftar pencarian orang (DPO) Polres Pandeglang.
Peristiwa tersebut, bermula dari perkenalan ketiga tersangka dengan N di pemandian Cikoromoy. Mereka saling bertukar nomor telepon genggam (HP) ber-Whats App (wa). Kemudian, AP menghubungi N untuk “babacakan” (makan bareng). Setelah diizinkan orangtua, pada Kamis 1 Juli 2021, N bersama SN dan NR, pergi. AP menjemputnya. Hari sudah mulai malam ketika ketiganya dibawa ke rumah AI. Saat itu lampu listrik dalam keadaan mati. Dengan alasan sepeda motor sedang dipinjam teman dan dijanjikan akan diantar pulang esok hari, jadilah N, SN, dan NR bermalam di situ. Namun kemudian, terjadi tiga hari penyekapan dan pemerkosaan oleh AI, AP, dan HR terhadap ketiga murid SD dan SMP itu.
Ki Embay menyayangkan peristiwa serupa itu banyak terjadi di wilayah Provinsi Banten, khususnya Pandeglang. Tetapi, timpal Suryadi, Banten bukan satu-satunya daerah tempat kejadian peristiwa TPPT-ABU di Tanah Air. Terungkap dari pemberitaan sejumah media, kekerasan seksual juga terjadi antara lain di Nusa Tenggar Timur (NTT), Bali, Kepulauan Riau (Kepri), Riau, dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Naas dialami AMA (20), siswa SMA penyandang disabilitas di Kabupaten Malaka, NTT. Perkenalan AMA dengan AM (35) ketika nomor HP AMA secara tak sengaja masuk ke telepon genggam AM. Perkenalan berlanjut ke pertemuan keduanya di Dusun Halilulik, Desa Naitimu, Kecamatan Tasifeto Barat, Rabu (9/6). Dibonceng sepeda motor, AMA dibawa jalan-jalan sebelum dibelokkan ke rumah AM di Dusun Betahu, Desa Babulu Selatan, Kecamatan Kobalima. Telepon genggam AMA dirampas, kemudian diancam, disekap selama tiga hari dan diperkosa.
Baru hari Sabtu (12/6) korban diantar, tetapi hanya diturunkan di tepi jalan Dusun Haliliuk (korban tinggal di wilayah dusun ini). Sebelumnya, AM mengancam akan membunuh AMA bila mengungkap perbuatan pelaku. Dalam kondisi lemah, AMA tertatih-tatih berjalan dan setiba di rumah jatuh pingsan. Orangtuanya yang kaget segera melarikannya ke Rumah Sakit Katolik Marianum untuk dirawat. Betap terkejutnya, ketika siuman AMA mengaku telah diperkosa AM. Atas kejadian ini, orangtua AMA mengadu ke Polres Malaka. Tersangka yang sempat kabur, baru tertangkap 18 hari kemudian (30/6) di rumahnya di Kobalima.
Di Kabupaten Karangsem, Bali, seorang gadis berusia 16 tahun diperkosa dalam rentang waktu 10 Desember 2020-Maret 2021. Pelakunya, IWG (38), pria asal Desa Tumbu. Ia ditangkap pihak kepolisian Polres Karangasem, dengan sangkaan TPPA-ABU. Tersangka memainkan modus sebagai dukun yang mampu menyembuhkan sakit kepala korban. Setidaknya 10 kali korban disetubuhi IWG. Pertama kali diperkosa ketika bermalam di sebuah penginapan di Kabupaten Bangli, usai ritual “melukat” (pembersihan diri) di Pancoran Galiran, Banjar Kawan. Selebihnya masih dalam modus ritual pengobatan, IWG memerkosa korban di beberapa tempat Karangasem.
Perdukunan juga dijadikan modus oleh JO (42) ketika mencabuli anak gadis bawah umur, Kamis (8/7) di Kampar, Riau. JO yang sehari-hari pemulung, mendengar keluh-kesah tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan dari HS, ibu korban. Kemudian, JO merespons, bahwa penyebabnya adalah aura buruk yang menyelimuti rumah HS. Sebagai “orang pintar”, JO mengaku mampu membersihkannya. Sambil memulai ritualnya, JO membawa anak gadis korban ke dalam kamar dengan alasan untuk ikut ritual “pembersihan”. Tiba di dalam, ternyata JO menciumi dan melucuti dengan paksa pakaian dalam korban. Menurut polisi, korban dicabuli dan tak sampai disetubuhi. Ketika mendapati putrinya keluar kamar menangis sambil menceritakan kejadian yang ia alami, HS mengadukan JO ke Polsek Kampar. Dua hari kemudian, Sabtu malam (10/7), JO ditangkap aparat Polsek Kampar di rumahnya di Desa Koto Tibun, Kampar.
Di Kota Batam, Kepri, sejumlah perempuan bawah umur menjadi korban serangkaian pencabulan dan persetubuhan oleh Rhd (22), seorang fotografer. Ketua Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Kepri, Erry Syahrial, pekan terakhir Januari (21/7) mengatakan, di antara para korban ada yang hamil. Modusnya tergolong baru, Rhd mendahului aksinya dengan sesi pemotretan para korban. Perkaranya ditangani pihak Ditreskrimum Polda Kepri.
Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, pekan terakhir Januari 2021 di Jakarta mengatakan, pihaknya sedang memberikan perlindungan kepada sebanyak 14 korban tindak pidana dengan status penyandang disabilitas selama tahun 2020-2021. Sebagian besar dari mereka merupakan korban kekerasan seksual. Ia juga menyoroti kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas yang terjadi di wilayah Sulsel. Ditemukan kasus korban disabilitas rungu-wicara diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar. Ada juga disabilitas rungu-wicara yang diperkosa tetangganya sampai hamil dan melahirkan di Makassar. Selain itu, seorang anak perempuan disekap dan diperkosa berhari-hari di Enrekang.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait awal Januari 2021 mengungkapkan, adanya kenaikan 38% persen kasus kekerasan terhadap anak selama kurun 2020 yang dilaporkan kepada Komnas PA sehingga menjadi 2.700 kasus. Arist mengungkapkan, Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah dengan laporan terbanyak kasus kekerasan terhadap anak, disusul Jabodetabek. Dari jumlah tersebut, menurutnya, kejahatan seksual mendominasi jumlah kekerasan terhadap anak yang diterima oleh Komnas PA.
Bahkan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya awal Maret 2021 menyebutkan, terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020. Data ini memang menunjukkan penurunan tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencatat 431.471 kasus kekerasan. Namun, hal itu lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang cenderung meningkat.
Menurutnya, dari kasus sebanyak itu, 8.234 di antaranya ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Tercatat, jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat kekerasan terhadap istri di urutan I dengan 3.221 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 954 kasus, dan sisanya kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) di urutan I, kemudian kekerasan seksual 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28 %), dan ekonomi 680 kasus (10%).
Di ranah publik, lanjutnya Yentri, kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) terdiri atas kekerasan seksual lain (tak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan lima kasus, dan sisanya 10 kasus percobaan perkosaan.
Dari data tersebut, menurut Suryadi, jelas tercermin bahwa tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan, terjadi cukup menyebar di berbagai daerah di Tanah Air. Dr. Ade Fartini melihat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi beriringan dengan memudarnya budaya malu, sehingga nurani tersungkur oleh nafsu kebiadaban.
Melihat begitu banyaknya kejadian yang memilukan itu, menurut Ade, saat ini bukan lagi waktunya untuk bersikap mencari-cari kesalahan. Saat ini yang dibutuhkan adalah solusi. Di samping kebijakan pemerintah dan penegakan hukum yang memang seharusnya efektif menimbulkan kejeraan, adalah arif bila setiap pribadi, keluarga, dan lingkungan masyarakat melabeli diri sebagai pencegah kejahatan. (*)