Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Terkait adanya laporan dugaan penyerobotan tanah kepada Satgas Mafia Tanah di Bareskrim Polri dan laporan dugaan tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mana dilakukan 997 petani yang terhimpun dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dan Tim Advokasi Keadilan Agraria-SETARA Institute.
Hal ini kata Hendardi Ketua Setara Institute akan menjadi pembuka kotak pandora buruk rupa tata kelola PTPN V. Dimana sebelumnya tidak pernah terusik, khususnya kemitraan yang tidak setara antara PTPN V dengan petani-petani plasma di Kampar, Riau.
"Upaya 997 petani memperjuangkan haknya yang meminta pertanggung jawaban PTPN V dalam pembangunan kebun gagal dan beralihnya kepemilikan lahan petani. Tentu ini telah meningkatkan ancaman kepada para pengurus Kopsa M, pekerja kebun dan petani," terang Hendardi dalam siaran persnya, Selasa (07/09/2021) di Jakarta.
Menurut Hendardi, Bareskrim Polri telah menyelesaikan pemeriksaan awal terhadap 37 saksi pada 30 Agustus-3 September 2021 lalu. Tentunya Setara Institute mengapresiasi langkah Polri yang cepat merespons pelaporan petani tersebut.
Katanya, ada serangan PTPN V terhadap petani berupa, (1) tuduhan penggelapan penjualan hasil kebun yang sebenarnya milik petani, (2) menyandera dana lebih dari 3 milyar milik petani atas penjualan buah kepada PTPN V, (3) mengadu domba petani dengan membentuk kepengurusan koperasi abal-abal, (4) upaya-upaya pengambilan kantor dan properti koperasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan, (5) melumpuhkan pengurus Kopsa M periode 2016-2021 yang sah dan legitimate.
"PTPN V melakukan intervensi yang melawan hukum dan menggunakan tangan-tangan alat negara. Termasuk menggunakan alat negara memaksa pengesahan pengurus koperasi tandingan yang dibentuk oleh PTPN V," tandas pengacara pembela kasus HAM dan Demokrasi ini.
Lanjut Hendardi, serangan membabi buta yang dilakukan PTPN V ini telah melengkapi dugaan tata kelola yang tidak akuntabel. PTPN V yang bertindak sebagai pendamping koperasi dan petani menggelembungkan hutang petani yang bersumber dari pinjaman Bank Mandiri, yang hingga kini mencapai lebih 150 miliar.
Modus ini kata Hendardi, akan berujung pada potensi perampasan 2.050 hektar kebun petani yang dijaminkan di Bank Mandiri.
"Menteri BUMN Erick Thohir wajib bertindak dan memerintahkan PTPN V untuk menghentikan cara-cara bisnis BUMN yang bertentangan dengan semangat Menteri BUMN. Dimana Menteri BUMN ingin membangun BUMN yang bersih dan tidak bertentangan dengan semangat Presiden Jokowi yang sedang menggalakan reforma agraria. Tentunya agar petani-petani memiliki akses tanah untuk penghidupan," desaknya.
Disna Riantina, Pengacara Publik/Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria-SETARA Institute mengatakan, cara-cara yang diperagakan PTPN V adalah cara purba bisnis BUMN sebagaimana dilakukan di masa lalu. Dimana saat itu tidak berorientasi pada perlindungan rakyat dan menggunakan alat-alat kekuasaan untuk memproteksi kepentingan bisnisnya.
"Padahal, BUMN diciptakan untuk membangun negeri, termasuk di dalamnya menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan rakyat," ucapnya.
Disna sapaa akrabnya, mengingatkan kepada berbagai pihak untuk bersikap profesional dan netral. Hal yang terjadi saat ini antara PTPN V dengan Kopsa M adalah hubungan keperdataan antara Anak Angkat (Kopsa M)
"Mereka (red-pengurus Kopsa M) tidak dikehendaki karena kritis memperjuangkan hak petani kepada Bapak Angkat (PTPN V). Petani melawan karena PTPN V tidak bertanggung jawab dalam tata kelola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)," jelasnya.
Menurutnya, Erick Thohir semestinya tidak hanya menghentikan cara-cara purba PTPN V. Lebih dari itu Menteri BUMN diharapkan mendukung upaya-upaya 997 petani yang sedang memperjuangkan hak-haknya yang dirampas lebih dari 10 tahun.
"Kasus yang dialami oleh Kopsa M adalah salah satu dari kasus serupa yang dialami lebih dari 10 koperasi yang juga bermitra dengan PTPN V. Erick Thohir bisa menjadikan langkah petani ini sebagai momentum dan entry point reformasi tata kelola BUMN di sektor perkebunan. Dimana selama ini seringkali menjadi beban APBN dibanding menjadi sektor yang kontributif bagi peningkatan pendapatan negara," pungkas Disna panjang lebar. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP