Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Akhir-akhir ini muncul desakan dari ICW, Aliansi Guru Besar dan lainnya, serta beberapa LSM agar Presiden mengambil alih permasalahan 56 Pegawai KPK nonaktif. Agar bisa diangkat menjadi ASN, meskipun sudah berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)
Desakan ini dipandang Petrus Selestinus selaku Pengamat Hukum, sangat jelas tidak ada landasan hukum. Bahkan katanya, pemaksaan ini bertujuan merusak sistem kebijakan negara dalam seleksi pengalihan Pegawai non ASN menjadi ASN. Dimana sudah baku di dalam norma, standar, kriteria dan prosedur yang tetap.
"Ada keanehan sikap sekelompok orang atau organisasi yang secara buta, tuli dan ngotot dengan cara apapun. Mereka mendukung Novel Baswedan dkk, agar harus tetap jadi penyidik di KPK. Bahkan sikap mereka sudah mengarah kepada melawan arus dengan menabrak Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi," kata Petrus Selestinus Kordinator TPDI dan Advokad Peradi, kepada media, Senin (20/09/2021) di Jakarta.
Lebih parahnya lagi kata Petrus, kelompok pendukung Novel Baswedan Dkk membuka kantor KPK tandingan dengan nama Darurat Pemberantasan Korupsi di halaman gedung KPK. Padahal yang namanya pegawai atau karyawan itu hukumnya adalah tunduk pada sistem (norma, standar, prosedur dan kriteria), sebagai suatu kebijakan yang mengikat.
"Jika tidak sepakat maka bisa ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai jalan keluar. Namun sikap ini tidak ditempuh, bahkan yang ditonjolkan adalah aksi-aksi untuk menciptakan "trial by the press" untuk menghakimi Firli Bahuri. Tentu ini merupakan cikal bakal dari sikap intoleran terhadap hukum negara," tegas Petrus.
Karena itu menurutnya, persoalan seseorang atau lebih gugur dalam sebuah tes apapun, termasuk Tes TWK, itu adalah persoalan biasa. Dimana nantinya dilanjutkan dengan upaya hukum yang tersedia untuk menuntut hak.
"Novel Baswedan dkk malah memilih jalan "trial by the press" menghakimi Presiden Jokowi dan Pimpinan KPK. Agar dinilai tidak becus mengurus nasib mereka," tandasnya.
Presiden Jokowi Abaikan Saja
Kata Petrus, Presiden Jokowi tidak perlu bertemu Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM terkait pemberhentian 56 Pegawai KPK. Sebab kata Petrus, Rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM menjadi kontraproduktif ketika diperhadapkan pada ketentuan pasal 17, 18 dan 19 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Yang mana menyerahkan penilaian atas tindakan pejabat negara pada Pengadilan bukan pada Komisi Negara.
"Jika Presiden Jokowi sampai mengakomodir Rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM. Maka hal itu akan menjadi preseden buruk, menjadi budaya hukum yang tidak mendidik," jelasnya.
Bahkan kata Petrus, bisa mengganggu kohesivitas ASN seluruh Indonesia, setidak-tidaknya di KPK. Dimana yang sudah dinyatakan tidak lolos TWK, masih diperbolehkan menjadi ASN.
"Selama ini timbul kesan seakan akan hanya Novel Baswedan dkk. yang paling berprestasi dalam menentukan sukses tidaknya KPK memberantas korupsi. Ini cara pandang yang keliru, karena selama 18 (delapan belas) tahun perjalanan KPK, upaya pemberantasan korupsi masih gagal," ungkapnya.
Lanjut Petrus, kegagalan itu antara lain disebabkan dari dalam KPK, yaitu terjadi praktek tebang pilih, praktek jual beli pasal atau tukar guling pasal sangkaan dll.
Karena itu, fenomena dimana sekelompok orang bersama Novel Baswedan dkk. Secara berlebihan menyikapi soal TWK yang makin lama mengarah kepada perilaku "intoleran" yaitu memaksakan kehendak meski harus melawan hukum.
"Mendesak Presiden Jokowi mengambil alih permasalahan dan mengangkat Novel Baswedan dkk menjadi ASm adalah proses pemaksaan kehendak. Oleh karena itu Presiden Jokowi tuntutan Novel Baswedan Dkk harap diabaikan atau ditolak," tegas Petrus menutup pernyataannya. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP