Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Dalam dua minggu terakhir, publik dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa dalam tubuh kepolisian, yang menggambarkan bahwa visi PRESISI yang menjadi corak kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo belum sepenuhnya dipedomani oleh jajaran kepolisian. Yang pada khususnya di tingkat Polres dan Polsek.
Adanya kejadian yang terkait Brigjen Junior Tumilaar, #PercumaLaporPolisi dan pedagang perempuan dipukul preman dan menjadi tersangka di Deli Serdang. Termasuk pembiaran mafia tambang di Sulawesi Utara yang menewaskan warga.
"Semua peristiwa kejadian ini telah menggenapi berbagai peristiwa sebelumnya, utamanya terkait praktik kriminalisasi. Sehingga sangat tidak sejalan dengan Visi Presisi yang merupakan gambaran tekad Polri untuk melakukan predictive policing yang responsible, transparan dan berkeadilan (20/1/2021)," kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute dalam rilisnya, Rabu (13/10/2021) di Jakarta.
Menurutnya, Visi Presisi salah satunya diturunkan dalam bentuk pengutamaan restorative justice dalam penanganan perkara pidana tertentu. Kecuali terkait mafia tambang PT BDL, pada tiga peristiwa lainnya, Mabes Polri telah sigap mengambil langkah konstruktif dengan memberikan perhatian serius dan mengambil alih penanganannya.
"Visi Presisi Polri kembali mengalami ujian dalam kasus kriminalisasi Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dan 2 orang petani Sawit di Polres Kampar, Riau. Dimana petani itu sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang 150 milyar, akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PTPN V secara tidak akuntabel di masa lalu," jelas Bonar sapaan akrabnya.
Diketahui Polres Kampar gigih mengkriminalisasi petani, tetapi abai dan menutup mata atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin. Dimana PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektar tanah petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau.
"Akan tetapi jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun tanpa izin usaha perkebunan. Hal ini jelas menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara," ungkapnya.
Kata Bonar, perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan.
Katanya, PT. Langgam Harmuni bahkan baru mengurus izin lingkungan pada September 2021 dan juga ditunda pengesahannya, karena penolakan masyarakat. Dimana status lahan kebun yang tidak clear.
"Tidak adanya izin usaha perkebunan tersebut (red-PT Langgam Harmuni) patut diduga keras ada masalah di lahan itu. Yang mana terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time)," jabarnya.
Padahal kata Bonar, dengan menyembunyikan dugaan kejahatan dengan memanfaatkan ketentuan daluarsa. Dimana justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan lanjutan lain, yang berdampak pada korban yang lemah.
"Alih-alih menjalankan visi Presisi Polri dan mematuhi perintah Jokowi terkait mafia tanah (22/9/2021). Jajaran Polres Kampar justru membabi buta membela PT. Langgam Harmuni dengan mengkriminalisasi petani, dengan kasus yang sarat rekayasa," tandas Bonar menyesalkan kejadian ini.
Terkahir katanya, Polres Kampar tampak membangkang dari perintah Kapolri untuk mengutamakan restorative justice atau keadilan restoratif. Terutama dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan, termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan.
"Menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan 2 orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri. Saatnya Polri bisa menyelesaikan proses kriminalisasi ini agar ada keadilan bagi petani anggota Kopsa M," pungkas Bonar. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP