Kabartujuhsatu.news,-Baru ada 2 tahun lebih sedikit Jokowi berkuasa di periode kedua, syahwat politik para penggemar kekuasaan sudah menunjukkan libidonya. Mempertunjukan ukuran kelamin kekuasaannya dengan membuat kampanye terselubung.
Kampanye terselubung gencar terlibat dalam polemik di media. Ada yang menyingkirkan peran seseorang ada pula yang sibuk memakai tameng covid-19 sebagai ajang promosi. Singkat cerita, masyarakat tetap saja dibodohi dengan aneka spanduk mewah.
Di internal pada PDI Perjuangan mengemuka istilah kelompok Banteng dan kelompok CELENG.
Menurut pengamat Hukum Politik Suta Widhya SH bahwa dinamika politik memang saat ini dominan hanya 2 orang sosok, bila tidak Puan ya Ganjar.
Kedua orang ini bersaing dengan adagium norak yaitu berpihak pada rakyat kecil. Sejak kapan kedua mempunyai keberpihakan pada rakyat kecil? .
Keduanya diduga sudah lupa dari mana suara mereka dapat sehingga menduduki DPR atau kursi eksekutif.
"Kami harap ada lembaga yang cukup valid untuk membuktikan dimana rugi negara trilunan sehingga hingga hari ini tidak ada Koruptor pengadaan e-KTP.
"Jangan asal melemparkan wacana saja," tantang pengamat hukum politik Suta Widhya SH, Minggu (17/10) pagi di Bogor.
Menurut Suta, bila ingin bicara korupsi KTP sudah pasti yang terkenai, bukan hanya Ganjar, tapi semua anggota Dewan yang bersentuhan dengan lahirnya kebijaksanaan e-KTP.
" Bukankah menteri yang ada di Jalan HR Rasuna Said juga menerima dolar USA?.
"Termasuk petinggi DPR yang sering mematikan mic peserta sidang karena kuatir sidang jadi mencerdaskan publik?" Tanya Suta.
Terkait dugaan korupsi e-KTP sebaiknya yang menuduh para penerima dolar USA, agar mampu membuka datanya secara transparan.
"Terus terang rakyat muak dengan lips service : gertak sambel dengan _bargaining_ tertentu, pungkas Suta Widya.