Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Dugaan YLKI bahwa adanya kewajiban Tes PCR untuk dihabiskan patut dijadikan titik awal penyelidikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
"Apa yang dikatakan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi patut menjadi bahan penyelidikan oleh APH. Apakah benar demikian adanya kiranya?" Tanya Pengamat Hukum Politik Suta Widhya SH, Rabu(27/10)pagi di Jakarta.
Seperti telah diberitakan oleh media, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mensinyalir adanya kewajiban tes polymerase chain reaction (PCR) bagi pengguna moda transportasi udara sengaja dipaksakan menjalani tes PCR demi yang menghabiskan stok bahan tes PCR yang masih sangat banyak tersedia di lapangan.
"Nilainya mungkin masih triliunan rupiah, sehingga pantas saja YLKI menduga sektor udara 'dikorbankan' untuk menghabiskan stok bahan tes PCR yang sudah kadung diimpor," lanjut Suta.
Menurut dugaan Suta pula, bisa jadi pihak importir sudah terlanjur banyak bahan tes PCR dari luar negeri.
Mereka terancam merugi sebagai importir karena gagal meraup keuntungan. Dan sangat merugi bila stok tes PCR tak digunakan karena masa kasus Covid-19 di Indonesia terus menunjukkan penurunan yang drastis.
“Lihat saja kebijakan Pemprop DKI JAKARTA tidak lagi mensyaratkan duduk renggang di Trans Jakarta dan angkot Jaklingko.
"Ini menandakan inkubasi virus sudah berakhir, sehingga bila material tes PCR tidak terserap pasar, maka para importir material tes PCR akan membuat para bandar merugi ratusan miliar rupiah.
Mereka sudah terlanjur impor dengan jumlah yang sangat banyak, eh ternyata Covid-nya turun drastis. Lihat saja bunyi sirene ambulans tidak segalak beberapa bulan lalu dan bisa dipantau Pemakaman korban covid-19 di TPU Khusus Covid tidak lagi seramai Juli sd Agustus 2021 lalu,” lanjut Suta yang juga sebagai Sekjen Gerakan Advokat dan Aktivis (GAAS).
Analisa Sekjen GAAS ini didasarkan pada pantauan medianya soal kewajiban tes PCR mengapa dikhususkan kepada pengguna transportasi udara.
Sedangkan pada moda transportasi lain, seperti darat dan laut kewajiban melakukan tes PCR juga hanya bila dipertimbangkan penularan Covid-19 ada di sana yang Artinya optional sekali, tidak diutamakan sebagaimana yang terjadi pada Bandara.
Menurut Suta, moda transportasi udara tergolong lebih aman dari penularan Covid-19 dibanding dengan modal transportasi lainnya.
Mengapa begitu? Sebab pesawat udara menggunakan filter HEPA guna menurunkan penularan Covid-19.
“Bila melihat aspek perlindungan dan keamanan terhadap penularan Covid-19, sebenarnya transportasi darat dan laut lah yang paling tepat untuk dilakukan tes PCR bukan transportasi udara, karena di sektor udara itu paling rendah potensi penularannya,” ungkap Suta.
Ia heran dengan inpres Joko Widodo (Jokowi) yang menginstruksikan agar harga tes PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu.
Selain itu, tes PCR ini juga diminta agar dapat berlaku selama 3×24 jam untuk perjalanan pesawat sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat konferensi pers usai rapat terbatas evaluasi PPKM pada Senin (25/10) di Jakarta.
“Ada apa gerangan arahan Presiden sehingga harga PCR harus diturunkan menjadi Rp 300 ribu dari sebelumnya Rp. 495.000 dan berlaku selama 3 × 24 jam untuk perjalanan pesawat? "Tanya Suta penuh keheranan.
(Red).