Kabartujuhsatu, Jakarta,-Gerakan Advokat dan Aktivis kembali mengadakan Diklat Paralegal yang kedua pada Minggu (28/11) setelah sebelumnya untuk pertama kali Minggu (25/7), keduanya di Jakarta.
Menurut narsum pertama DR.HM.Subagyo Eko Prasetyo, SH, MH paralegal didefinisikan sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan hukum namun tidak mempunyai kualifikasi sebagai praktisi hukum yang memiliki tugas utama membantu Advokat ,diantaranya untuk pekerja administratif dan pengarsipan dokumen.
Pembicara kedua, Direktur LBH GAAS AR Mangi SH MH membahas KUHPerdata. Disusul pembicara ketiga membahas Surat Kuasa. Dan narsum keempat, Ketum DPP GAAS Rudy Silfa SH membahas hukum pidana.
Ketua Umum DPP mengatakan ” Tujuan diadakan Pendidikan Dan Pelatihan Paralegal Gelombang ke II ini yang berlokasi dihotel Losari gambir Jakarta Pusat yaitu untuk membekali paralegal dan masyarakat terhadap pengetahuan hukum yang dapat melindungi haknya, sehingga mampu membuat solusi atau strategi dalam menyelesaikan kasus- kasus yang dihadapi.
Materi terakhir yang disampaikan oleh 5 nara sumber dalam Diklat Paralegal ke - 2 DPP-GAAS bekerjasama dengan LBH - GAAS dibawakan oleh Sekretaris Jenderal Gerakan Advokat dan Aktivis Suta Widhya SH pada Minggu (28/11) siang di Hotel Losari Roxy, Jakarta Pusat.
Sekjen GAAS yang berpengalaman mendampingi Klien, baik klien yang masih sebagai saksi, Terlapor, maupun tersangka ini memberikan kiat-kiat jitu kepada 88 peserta _off line_ dan 33 orang yang _online_ tersebar di berbagai propinsi Diklat Paralegal ke - 2 yang diselenggarakan mulai pukul 10 hingga pukul 16.30 sore.
"Hal utama yang harus menjadi bekal anda sekalian adalah pemahaman persoalan harus minimalis sama dengan klien yang kalian dampingi.
"Jangan sampai anda hanya mendengar belaka keterangan klien sehingga tidak bisa mengoreksi saat klien keliru memberikan keterangan di depan penyidik. "Ujar Suta.
Yang kedua, menurut Suta, _brains storming_ dulu klien agar hemat dalam mengutarakan sesuatu. Hindari jawaban yang tidak perlu agar tidak bias.
"Berikutnya yang ketiga, duduklah di samping klien. Tidak boleh terjadi seperti seorang klien dengan 2 orang PH yang duduk di belakang klien. Itu contoh buruk yang dilakukan PH saat HRS diperiksa pada 12/12,"Tambah Suta.
"Keempat, harus jadi PH yang tegas saat penyidik menjurus pada pertanyaan menjebak. Ini pernah terjadi saat kami dampingi babe HH yang mengaku bertemu Rasul Muhammad saat hadiri pemakaman 5 syuhada dari FPI di Megamendung, Bogor." Lanjut Suta.
Kelima menurut Suta, klien harus tahu bahwa pengakuan sebagai tersangka akan dikuatkan oleh" mekanisme Penyidik" menjadi pengakuan terdakwa.
"Ini artinya menjadi salah satu alat bukti yang sah untuk syarat sebagai tersangka yang bisa saja segera ditahan dengan 20 hari pertama di Rutan Kepolisian.
Untuk itu, alangkah bijaksana bila dalam brains storming klien sudah diarahkan untuk mengatakan LUPA dan TIDAK BENAR saat penyidik mengarah pada penyudutan klien sebagai tersangka yang siap ditahan.
"Selain itu PH juga harus berani minta penundaan pemeriksaan yang melebihi waktu jam kerja normal, yaitu 8 jam.
"Buruh saja bisa menolak lembur dan memilih pulang pada pabrik atau tidak ingin lembur di atas 8 jam. Jangan seperti HRS diperiksa lebih dari 11 jam."Tegas Suta.
Sekjen Gerakan Advokat dan Aktivis Suta Widhya SH yang juga pengamat hukum politik ini memberikan contoh bahwa seorang profesor dengan gelar S.IK,SH, MH. pun membutuhkan pendampingan saat di depan penyidik.
"Semua orang perlu didampingi, meski sang klien masih sebagai saksi sekalipun. Tujuannya agar memberikan rasa aman dan tenteram pada klien. Profesor tersebut adalah mantan penyidik di Mabes Polri, tapi toh dia butuh juga orang lain," Tutup Suta.