Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Story pribumi bersatu, 19 Nopember 2021, Dr. Muhamad Dahrin La Ode sering disebut ahli politik etnisitas. Desertasinya pun “Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Era Reformasi: Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat, 1998-2008″.
Sebelumnya Muhamad Dahrin La Ode telah menulis buku ”Politik Tiga Muka Etnis Cina Indonesia Dalam Perspektif Ketahanan Nasional” (1996).
Masih banyak lagi karya tulisnya yang sudah maupun yang belum dibukukan, dan ia memberi kuliah di berbagai universitas atau perguruan tinggi.
Terhitung mulai dari Universitas Tanjungpura Pontianak hingga Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia bersama sekumpulan Jendral dan perwira Tinggi TNI dari semua angkatan.
Penelitian terbaru Dr. Muhamad Dahrin La Ode bersama kawan-kawannya adalah “Peta Kekuatan Politik Etnisitas di Asia Timur, Konflik Kedaulatan di Laut Cina Selatan. Bahkan Arah Perubahan Strategi Pertahanan di Asia Pasifik dengan aktor Amerika Serikat serta Rusia dan Cina.
Diskusi dan launching buku “Trilogi Pribumisme” karya Dr. Muhamad Dahrin La Ode MSi ini pernah dibedah secara terbuka di Perpustakaan Nasional Jakarta, 26 Oktober 2018.
Laksamana Tejo Edi Pujiatno mengakui adanya dominasi etnis Cina di negara kita, Indonesia, sungguh sangat mengkhawatirkan karena memang realitasnya begitu adanya.
Acara lounching buku yang ditulis Dr. Muhamad Dahrin La Ode ini diterbitkan oleh Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia, Jakarta 2018.
Buku dosen pengajar di sejumlah perguruan tinggi ini menawarkan resolusi konflik pribumi dengan non-pribumi di berbagai belahan dunia.
Tejo Edi Pujiatno pun melihat adanya kecenderungan orang dari Timur Tengah di Indonesia sudah ada sebelum Indonesia merdeka masih mau berbaur dengan bangsa kita.
Namun mereka yang dari Utara Cina tidak mau.
Jadi orang Cina di Indonesia memang sejak dulu memang sudah ekslusif sifatnya dan ekspansionis, kata Laksamana Tejo Edi menandaskan.
Buku Trilogi Pribumisme ini kata Dahrin La Ode diinspirasi oleh empat hasil penelitiannya terdahulu.
Seperti Arah Politik Etnis Cina Indonesia Dalam Sistem Politik Nasional tahun 2015, namun yang gawat, etnis Cina keturunan sebagai imigran asal Cina di Indonesia punya keinginan untuk mengambil alih kekuasaan dari kaum Pribumi Nusantara.
Realitas sosial bagi Indonesia yang berciri kemajemukan kelompok-kelompok etnis yang membentuk suatu entitas politik hasil dari konsensus politik etnisitas.
Adapun jangka waktu peralihan kekuasaan atas dasar etnis Cina ini diperkirakan baru akan terjadi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan, yaitu pada periode masa 2019-2029.
Fenomena dari hasrat Etnis Cina untuk menguasai Indonesia dipapar Muhamad Dahrin La Ode dalam buku setebal 480 halaman ini.
Dalam teorinya, Trilogi Probumisme memuat tiga paham, yakni Pribumi Pendiri NKRI, Pribumi Pemilik NKRI dan Pribumi Penguasa NKRI. Tetapi realitasnya sekarang, masalah kepemilikan NKRI sudah bergeser atau mulai berpindah tangan kepada bangsa asing.
Bahkan penguasaannya Pribumi terhadap NKRI pun sudah bergoyah.
Setidaknya indikasi dari kedaulatan rakyat seperti yang termaktub pada sila Pancasila semakin diabaikan, padahal, proses terbentuknya negara menurut M.
Dahrin La Ode mengatakan, awalnya didirikan oleh para pribumi, sehingga kaum Pribumi sebagai pendiri, sebagai pemilik dan sebagai penguasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang harus dan mesti diyakini merupakan harga mati.
Artinya tidak bisa ditawar-tawar, apalagi sampai ada keinginan dari suatu pihak yang hendak menggadaikan NKRI.
Dalam konteks inilah relevan kiranya apa yang dicemaskan Tejo Edi bahwa suatu negara itu memang bisa hancur.
Pertama, karena moral bangsa yang dilemahkan.
Kedua, ekonominya yang dilumpuhkan.
Ketiga, ada upaya merusak budaya bangsa Indonesia.
Keempat, maraknya pasokan narkoba yang semakin deras masuk Indonesia.
Kelima, maraknya budaya korupsi seperti mendapat angin segar karena hukuman yang ringan hingga sekarang terus muncul aktor-aktor kasus korupsi yang baru tanpa sedikitpun terkesan ada rasa malu dari mereka yang melakukannya.
Keenam, budaya politik kita di Indonesia, seperti tidak sama sekali memilki etika dan moral prilakunya.
Ketujuh, masing-masing politisi kita di Indonesia seperti sudah menghalalkan semua cara.
Kedelapan, Lompat pagar dari partai yang satu ke partai yang lain pun, begitu mudah seperti memilih menu makan saat menghadiri suatu pesta.
Kesembilan, adapun sistem ekonomi kita pun semakin jauh meninggalkan paham pada Pancasila seperti yang pernah dipapar Prof. Mubyaryo dan Prof. Sri Edhi Swasono yang teguh mengacu pada ajaran Bung Hatta.
Kesepuluh, nilai dan azas gotong royong dan kekeluargaan dalam upaya membangun tata ekonomi bangsa Indonesia sekarang semakin jelas terpelanting dari amanah UUD 1945 yang sudah diamandemen habis-habusan itu sekarang.
"Menurut saya, ajakan Muhamad Dahrin La Ode bersama Letnan Jendral (Purn) Prof. Dr. Syarifudin Tippe dan Laksamana Tejo Edi Pujiatno bersama segenap civitas akademika Universitas Pertahanan Indonesia patut didukung.
Apalagi idealisme dari perguruan tinggi yang dibangun oleh para patriot sejati bangsa Indonesia ini telah mencium adanya niat jahat dari etnis tertentu yang hendak merebut hak kepemilikan kaum Pribumi dari tanah dan air warisan leluhur kita yang sudah mempertahankan segalanya dengan harkat dan martabat serta harga diri bangsa." Ungkap Yulia Lahudra S.Pd MM, pada Jumat (19/11) malam di Jakarta.
Artinya, kewaspadaan terhadap bangsa asing dengan niat jahatnya itu dengan segala cara dan kelicikan mereka dengan cara perang modern, proxy wae — seperti memasok narkoba dan tenaga kerja asing - jika terus dibiarkan maka mereka akan semakin cepat menjadi penguasa yang mutlak atas kedaulatan politik negeri kita.
"Salah satu cara untuk keluar dari jajahan kemandirian ekonomi serta kepribadian budaya dari segenap suku bangsa kita yang tidak lagi punya kedaulatan, maka rakyat harus disadarkan adanya bahaya komunis Cina," Ungkap Yulia.
Ia menguatiri kondisi petani kita terus dipaksa mengkonsumsi komoditi impor. Kaum buruh Indonesia semakin tersisih di negerinya sendiri.
Apalagi kaum pedagang asli pribumi kita, seperti tak berhak mendapat peluang dan kesempatan mengembangkan usaha perniagaan di negerinya sendiri.
Marsekal Tejo Edi Priyatno pun mengaku rela diresufle dari kabinet, hanya karena terlalu vokal menyuarakan keluhan rakyat.
Menurut Tejo Edi Priyatno, mulai dari masalah bebas visa dan derasnya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia dia akui sudah amat sangat dia rasakan begitu merisaukan hati.
Saat ini buruh kita sendiri di dalam negeri menjadi tersingkir, tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, hingga kaum buruh kita pun tidak kebagian lapangan kerja.
Sedangkan kerisauan Kolonel Laut Rifa’i Ras mengungkap ancaman bagi Indonesia di Laut Cina Selatan.
Meski secara politik Indonesia telah mengganti nama kawasan itu dengan nama Laut Natuna Utara, bukan berarti Indonesia boleh lengah dari invasi Cina yang semakin agresif dan terus masuk merangsek dalam berbagai cara dan bentuk.
"Yang paling utama, di bidang ekonomi dan budaya kita yang semakin rentan, harus selalu kita jaga.
"Jangan sampai lengah dan jangan sampai kita dikuasai oleh komunis Cina. Karena itu bangsa Pribumi Indonesia harus bangkit dan segera bergerak, bertindaklah sebelum semua terlanjur jadi mangsa mereka." Lanjut Yulia.
"Bangkitlah kaum pribumi. Sekarang adalah momentum yang tepat, apalagi setelah Kongres Kaum Pribumi pada akhir tahun 2018 lalu, telah menghasilkan rumusan langkah strategis dan taktis untuk menjawab tantangan dan ancaman penjajah baru di negeri kita." Tutup Yulia.