Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia periode 2021-2024 menyoroti fenomena kartel oligarkis Parlemen.
Demikian hal tersebut dijelaskan Hasnu Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) PB PMII Bidang Polhukam pada Selasa (28/12/2021).
Diketahui, anggota DPR
RI masa jabatan 2019-
2024 dengan jumlah 575 orang, dengan adanya 55 persen pebisnis di DPR, potensi konflik kepentingan dalam pembuatan Undang-undang akan semakin tinggi.
Secara konseptual, kata Hasnu, oligarki merujuk pendapat Winters, dapat diartikan sebagai politik pertahanan kekayaan; harta/properti dan pendapatan, oleh oligark/individu yang
menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya material untuk mempertahankan atau
meningkatkan kekayaan pribadi dab posisi sosial eksklusifnya.
Pintu masuknya, ungkap Hasnu, melalui penguasaan atas media dan Partai Politik. Ada 5 sumber utama kekuasaan individu, (1) hak politik formal (2) jabatan resmi (3) kekuasaan koersif (4) kekuasaan mobilisasi (5) kekuasaan material.
Di lain aspek, Oligarki juga fokus pada pembentukan relasi-relasi sosial secara dominan berdasarkan
kepemilikan dan akses atas sumber daya material.
Bahkan, jelas Hasnu, seperti diuraikan dalam tesis Robinson dan Hadiz menyatakan bahwa dominasi ini selanjutnya yang membentuk logika dari institusi-institusi sosial politik dan ekonomi, arena kontestasi kepentingan.
Dalam banyak studi ilmiah, ungkap Hasnu, oligarki dan demokrasi berpotensi saling mempertegas konsentrasi kekuasaan Ketika partisipasi politik warga negara tidak dapat diorganisir dan diberdayakan secara efektif
dalam mengekang politik pertahanan kekayaan.
Sedangkan fenomena politik kartelnya, lanjut Hasnu, yang juga Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta itu, bahwa partai politik sudah tidak lagi menjalankan fungsi partai, mengajarkan ideologi partai, visi misi parpol, serta bukan bagian dari opisisi yang menjalankan fungsi cek and balances terhadap suatu rezim politik.
"Sekarang komposisi DPR RI telah membentuk jaringan kartel yang cukup kuat dan mengakar. Dengan demikian, parlemen telah menyatu dengan eksekutif," ujar Hasnu.
Lebih lanjut, kata Hasnu, adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi-komisi terhadap kepentingan bisnis tertentu.
Menurut Hasnu, hal tersebut diperburuk dengan absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di Komisi DPR "Komposisinya makin kelihatan kok".
Ia mengatakan, dominasi pebisnis di DPR berpotensi semakin mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam proses pembuatan kebijakan, dimana produk kebijakannya pun menitikberatkan pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial, lingkungan, serta partisipasi publik yang inklusif.
Bahkan, kata Hasnu, konsentrasi kekuasaan tersebut mengindikasikan agenda politik demokratis berbasis nilai di Parlemen akan semakin berat diperjuangkan.
Parahnya, ungkap Hasnu, ketika berhadapan dengan kepentingan politik bisnis dari jejaring oligarki maka DPR akan kehilangan keberpihakan terhadap rakyat kecil sebagai konstituen (pemilih).
"Fenomena kartel oligarkis di DPR mengindikasikan bahwa selain syarat kepentingan dalam mempertahankan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik, tapi membajak hak sipil dan menyumbat konsolidasi demokrasi menuju Indonesia Maju," pungkas Hasnu.
(Rahmat Abdullah).