Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-KAMMI dan Aliansi Cerahkan Negeri melakukan pembentangan spanduk raksasa di Pancoran bertuliskan, “Jangan Politisasi Penderitaan Korban Perkosaan untuk Melindungi Para Pelaku Seks Bebas”. Rabu (8/12/2021).
Menurut Ketua KAMMI, Zaky Rivai, aksi ini adalah bentuk protes kepada anggota dewan dan merupakan bentuk pengawalan RUU TPKS agar tidak disahkan.
“Jangan sampai RUU TPKS ini dipaksa disahkan karena politisasi kasus kejahatan seksual di media saat ini, padahal kekerasan seksual dan tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU TPKS masih mengandung frasa “tipu daya” yang menurut kami bersifat ambigu,” jelas Zaky.
Ketua Satgas RUU TPKS KAMMI, Maya Rahmanah menambahkan bahwa pembelaan terhadap korban perkosaan seharusnya tidak memberikan celah kepada kebebasan seksual itu sendiri, “Kita sama sekali menentang dan tidak setuju dgn segala bentuk kekerasan, namun kita ingin ketentuan-ketentuan yang ada dalam RUU TPKS tidak ada celah dan memberikan perlindungan terhadap seks bebas,” terang Maya.
“Misal pada kasus perkosaan yang mengakibatkan korban bunuh diri pusara ayahnya beberapa waktu lalu, meskipun dia dalam ikatan di luar nikah, yang dialaminya tetaplah perkosaan karena dilakukan saat dia tidak berdaya.
"Tapi kita juga tidak boleh abai bahwa ada pasangan di luar nikah yang melakukan hubungan seks suka sama suka kemudian dia merasa ditipu setelahnya tanpa ada unsur kekerasan, nah kalau ini kan jelas bukan perkosaan,” tegas Maya.
Di waktu yang sama, Koordinator Aliansi Cerahkan Negeri, Indram mengungkapkan bahwa maksud dari tulisan di spanduk itu adalah menyadarkan masyarakat bahwa saat ini sedang ada upaya penggeseran makna perkosaan.
“Masyarakat kini sedang diubah mindset-nya, seolah hubungan seksual yang diawali dengan suka-sama-suka lalu disesali sama dengan perkosaan, padahal tentu saja ini merupakan dua hal yang sangat berbeda. Perkosaan itu jahat, masalahnya hubungan seksual yang disesali itu tetap bukan perkosaan,” ungkap Indram.
Indram juga menjelaskan bahwa kalau ada pasangan di luar ikatan perkawinan melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka, kemudian salah satu pihak menyesali itu karena ada konflik atau adanya perjanjian yang dilanggar tidak dapat disamakan dengan perkosaan.
Menurut Indram, pembedaan ini penting karena jika hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang disesali disamakan dengan perkosaan akan menimbulkan celah untuk melindungi kebebasan seksual yang dilakukan oleh pihak yang mengaku dirugikan, sehingga mereka bebas dari kejahatan yang mereka lakukan.
"Pada rumusan draft RUU TPKS sebelumnya kami juga telah mengkritik unsur “tipu daya” dan “rangkaian kebohongan” sebagai unsur fakultatif pada sifat kesalahan hubungan seksual yang akan menjadi instrumentasi bagi kebebasan seksual, namun Baleg DPR masih mengabaikan kritik kami," tambahnya.
“Kasus perkosaan akhir-akhir ini jelas ditunggangi, apa hubungannya kasus perkosaan dengan pengesahan RUU TPKS? Padahal di draft terbaru RUU TPKS yang kami terima gak ada pasal yang menindak perkosaan.” pungkas Indram.
Sumber berita : KAMMI KEPTON NEWS