Illustrasi Anak.
Jakarta, Kabartujuhsatu.news, – Dewan Pers menerbitkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak untuk menjaga hak hak anak dari labelisasi negatif publik.
Wartawan wajib, memenuhi dari 12 butir pedoman yang telah disahkan di Jakarta 9 Februari 2019.
Menindaklanjuti Peraturan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak oleh Dewan Pers diharapkan media harus mampu menghadirkan solusi, baik anak sebagai korban, pelaku, atau saksi yang sedang berhadapan dengan hukum.
Pedoman PPRA, rujukan dari:
UU No 35 tahun 2014 Pasal 64 (3) UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan “anak yang menjadi korban tindak pidana dilindungi dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi”.
UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 19 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyebutkan:
Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.
Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 menegaskan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Berikut 12 butir Pedoman Pemberitaan Ramah Anak:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
7. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku.
8. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto /status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.
Jakarta, 4 Pebruari 2022
Sumber : Dewan Pers