Oleh : Dr. M. Dahrin La Ode.
Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Paul Laband dan Georg Jellineck mengajarkan bahwa kedaulatan sudah ada sejak lahirnya suatu negara. Jadi jelaslah bahwa Negara merupakan sumber kedaulatan. Dengan demikian diperoleh paham universal bahwa negara adalah kekuasaan politik dan oleh sebab itu negara adalah kekuasaan diskriminatif atas bangsa lain atau negara lain, dalam mewujutkan kemakmuran umum (Bonnum Publicum) Pribumi selaku pemilik negara.
Sejarah politik antar bangsa menunjukan kuatnya nafsu the struggle for power Hans J. Morgenthau berlatar persaingan antar bangsa dan berakhir pada penaklukan bangsa satu terhadap bangsa lainnya.
Contohnya Inggris, Amerika Serikat (AS), Spanyol, Portugis, Perancis, Belanda, Uni Soviet, Jepang, dan Italia semuanya penakluk. Inggris dan AS masih berlanjud hingga saat ini. Sekarang Cina Komunis menyusul mau jadi penakluk juga.
Masih berhubungan dengan sejarah politik itu dan ancaman faktual kedaulatan negara Indonesia saat ini dan kedepan, adalah the struggle for power dari Morgenthau untuk menganeksasi Indonesia menggunakan serangan soft power Joseph Nye dari Universitas Harvard, AS.
Serangan soft power itu sudah membahayakan Negara Indonesia pada saat ini dan kedepan.
Tujuan penyerang, persis menyasar kedaulatan guna dianeksasi dengan metode serangan soft power attack tanpa menyakiti fisik bangsa Indonesia sebagai sasaran aneksasi.
Oleh karena itu setiap gejala sosial penentangan akibat soft power dari pihak penyerang selalu ditangkal pemerintah menggunakan national security policy. Isinya alat negara yakni TNI, Intelijen, dan Polri.
Karenanya pihak penyerang selalu aman untuk meneruskan misi serangan terhadap Bangsa Indonesia.
Agar diperoleh gambaran sifat soft power attack terhadap kedaulatan negara, berikut ini diuraikan beberapa indikatornya secara jelas dan tepat.
1. Pemberlakuan Peta Nine Dash Line.
Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menulis bahwa “China’s new national map re-affirms its historical South China Sea claims and incorporates a tenth ‘dash line’ off Taiwan”.
Jenderal L.B. Moerdani menangkalnya dengan kewaspadaan nasional bahwa “jika Natuna merah maka semuanya akan merah”.
Deng Xiaoping lebih dahulu mengatakan “jika Indonesia merah maka semuanya akan merah”.
2. Inpres Nomor 26 Tahun 1998
Presiden Prof. B.J. Habibie menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang larangan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi.
3. Amandemen UUD 1945
Pada periode 1999-2004 Amandemen UUD 1945 sudah dilaksanakan 4 (empat) kali.
Di periode ini ada dua Presiden yakni YM. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega). Ketua MPR RI Prof. Dr. Amien Rais. Ketua DPR RI Ir. Akbar Tanjung.
Pimpinan Eksekutif dan Legislatif itu kader/pilihan dari lima besar pemenang pemilu saat itu ialah PDIP 153 kusri (33,12%), Golkar 120 kursi (25,97%), PPP 58 kursi (12,55%), PKB 51 kursi (11,03%), dan PAN 34 kursi (7,36%). Amandemen pasal 6 ayat (1) semula “presiden ialah orang Indonesia asli” dirubah menjadi “calon presiden dan calon wakil presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya…”.
4. Kepres Nomor 12 Tahun 2014
Keppres Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres itu, Presiden SBY mengganti istilah "China" dengan "Tionghoa".
5. Pasal Ujaran Kebencian
Untuk ujaran kebencian sudah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Peta Nine Dash Line bentuk aneksasi kedaulatan 5 (lima) negara anggota Asean yakni Pilipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Aneksasi itu adalah indikator awal China Imperium melalui “Blue Sea Strategy” Cina Komunis.
Niat aneksasi itu ditangkal Menhankam/Pangab Jenderal TNI L.B. Moerdani dengan mengatakan “jika Laut Natuna merah maka semua wilayah sekitarnya akan merah”.
Ini persis makna agresi militer Cina Komunis yang diindikasikan pelanggaran wilayah Laut oleh Negara Anggota Asean.
Tetapi di era Presiden Jokowi, niat aneksasi Cina Komunis itu dilanjutkan Presiden Cina Komunis Xi Jinping melalui strategi investasi dan kemudahan pinjaman lunak kepada Indonesia.
Kemudahan ini dipuji oleh Mengko Marives Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Prof. B.J. Habibie menghapus inti kekuatan dasar nasionalisme Indonesia untuk kepentingan politik etnisitas kaum Warga Negara Indonesia (WNI) asal bangsa lain.
Satu di antaranya yang fenomenal adalah etnis Cina Indonesia (ECI), Mereka kekeh berjuang merebut kedaulatan Pribumi atas NKRI.
Namun Prof. B.J. Habibie mengabulkannya, padahal tiap tiap Negara di dunia, Pribumi ada sejak kesepakatan berdirinya Negara dicapai di suatu wilayah sekaligus menjadi sumber kedaulatan negara!
Jadi ukuran Pribumi suatu Negara bukan ditentukan DNA tetapi kesepakatan politik tersebut.
Jadi istilah Pribumi pada tiap tiap negara tak boleh diganggu gugat oleh bangsa lain manapun!.
Elite politik nasional periode 1999-2004 tak paham jika Pribumi sumber kedaulatan NKRI dan 193 negara anggota United Nations.
Amandemen UUD 1945 khususnya pasal 6 ayat (1) dilakukan oleh anggota Eksekutif dan Legislatif periode 1999-2004.
Implikasi amandemen itu “dicabutnya kedaulatan” dan “dibaginya kedaulatan” negara kepada bangsa lain khususnya ECI.
Implikasi ini adalah indikasi pengkhianatan Eksekutif dan Legislatif terhadap kedaulatan negara.
Pada mana, kedaulatan Negara tidak boleh dicabut dan tidak boleh dibagi kepada bangsa lain.
Demikian ajaran J.J. Rousseaue dalam bukunya Kontrak Sosial.
Itu sebabnya, maka semua anggota Eksekutif dan Legislatif era itu, telah menimbulkan bahaya negara berupa serangan kedaulatan dan melahirkan bahaya kedaulatan negara.
Bahaya ini hanya menanti indikator politik tatkala WNI adalah bangsa lain menjadi Presiden RI, khususnya ECI.
Kejadian ini mengantarkan Indonesia dalam status Colonies of Nations, berhubung ECI bukanlah bangsa Indonesia dan memang ECI menolak menjadi bangsa Indonesia merdeka.
Oleh karena itu semua yang setuju pencoretan kata asli (titik amandemen) pasal 6 ayat (1) cukup syarat untuk disangkakan tindak pidana makar dan pengkhianatan terhadap kedaulatan negara Indonesia.
Keppres Nomor 12 Tahun 2014, kebijakan politik etnisitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menurut paham politik negara, SBY mengabulkan yang tak perlu kepada ECI. Dengan kata lain kebijakan itu membawa 2 (dua) implikasi politis yakni pertama, tanpa titik objek, berhubung di Indonesia tak ada kelompok etnis Tionghoa.
Kedua, melakukan kesalahan politik etnisitas berhubung memenuhi aspirasi politik etnisitas ECI mau setara dalam konstelasi politik etnisitas di Indonesia.
Padahal, ECI menolak jadi bangsa Indonesia merdeka!
Pasal Ujaran Kebencian ditetapkan di era Jokowi jadi Presiden RI.
Amanat pasal ini persis melindungi bangsa lain, ECI dan Cina Komunis, tetap dalam status psikologi politiknya terbenci di Indonesia akibat pengkhianatan demi pengkhianatannya di Indonesia.
Dengan terbitnya pasal ujaran kebencian itu, maka setiap orang Pribumi yang membenci ECI secara lisan, tertulis, rekaman video yang dipublikasi, meskipun objektif menunjukkan fakta terbenci ECI dan Cina Komunis, yang bersangkutan disanksi hukum pidana penjara ujaran kebencian.
Pasal ini benar benar memuliakan ECI dan Cina Komunis pengkhianat dan menghinakan Pribumi di depan hukum, ECI, dan Cina Komunis.
Hasil analisis data di atas memahamkan bangsa Indonesia bahwa semua kebijakan politik nasional era reformasi menjadi bukti kuat negara ini tidak sedang dalam kondisi baik baik saja. Negara dalam bahaya. Mengapa bisa terjadi?
Pertama, adanya titik buta tindakan pemerintah (blind spot by government) dalam mengimplementasikan politik Negara kepada bangsa lain: —ECI dan Cina Komunis—kedaulatan Negara—asas kesetaraan di depan hukum.
Kedua, pihak bangsa lain dan ECI, berhasil menggunakan intellectual intellijence kepada elite politik nasional.
Ketiga, kuatnya hegemony politik untuk menjadikan Indonesia sebagai Colonies of Nations.
Keempat, pemerintah memakmurkan ECI dan Pribumi hidup dengan caranya sendiri.
Kelima, saat ini tampaknya pemerintah “bekerja” untuk ECI dan Cina Komunis. Fakta blind spot by government ini, menjadi petunjuk bagi bangsa Indonesia bahwa yang konsisten mengemban politik negara, kedaulatan Negara, dan kesetaraan di depan hukum antar WNI sejak kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, kurang.
Kecuali dua Presiden RI yakni Ir. Soekarno dan Jenderal Besar Soeharto.
Presiden RI berikutnya yakni Prof. B.J. Habibie, YM. Gus Dur, Mbak Mega, dan SBY semuanya lemah.
Presiden RI Jokowi, lebih lemah lagi. ***
Jakarta, 19 Maret 2022