Anthony Budiawan (Ist).
Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Presiden Joko Widodo diminta segera menertibkan beberapa anggota Kabinetnya, yang diduga terus melancarkan upaya kudeta terhadap Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Undang Undang Dasar 1945.
Pengamat Sosial Politik dari Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), Anthony Budiawan mengungkapkan, proses kudeta konstitusi kian nyata terjadi.
Hal itu bisa dibuktikan dengan pernyataan dan trigger yang disampaikan sejumlah anggota Kabinet Indonesia Maju Jilid II Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Seperti, seperti Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, bersama sejumlah kaki tangan mereka, dalam bentuk-bentuk relawan dadakan, yang terus berupaya melakukan kudeta konstitusi, dengan memaksakan kegaduhan mengusung perubahan UUD 1945 untuk masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan Presiden, dan atau penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Anthony Budiawan yang merupakan Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS) Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis) ini mengaku jengkel sekali dengan ulah para menteri yang tidak taat kepada Presiden Republik Indonesia, mau pun kepada Undang Undang Dasar 1945.
“Saya melihat, dan juga sudah dipublikasikan di sejumlah media massa, bahwa para menteri itu sendiri yang berupaya mendorong terjadinya kudeta konstitusi.
Menteri apaan begitu? Mereka yang diduga merancang kudeta. Dengan mendorong masa jabatan tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan Presiden, atau penundaan Pemilu 2024,” tutur Anthony Budiawan.
Padahal, Presiden sendiri sudah berkali-kali menyatakan akan taat dan tunduk kepada Konstitusi, akan tunduk kepada Undang Undang Dasar 1945. Kok ada anggota kabinet yang malah bertentangan dengan Presiden.
“Mereka itu harus segera ditertibkan oleh Bosnya, yaitu Presiden sendiri. Sikap dan langkah mereka itu sangat berbahaya. Kudeta konstitusi itu sedang terjadi. Itu nyata,” lanjut Anthony Budiawan.
Hal itu ditegaskan Anthony Budiawan saat menjadi Pembicara pada Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Prof Dr John Pieris, Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr Budiman NPD Sinaga, Akademisi Universitas Nommensen Medan, dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS), Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), dengan moderator Ketua Bidang Politik DPP PARKINDO, Charles D Sirait.
Dialog ini juga diikuti oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah atau Senator, Agustin Teras Narang, Tokoh Kristen Prof Albertus Patty, Politisi Senior Bursah Zarnubi, Politisi PDIP I Wayan Sudirta, Dewan Pembina DPP PARKINDO Dr Lintong Manurung, Ketua Umum DPP PARKINDO Lukman Doloksaribu, Sekjen DPP PARKINDO Besli Pangaribuan, para pengurus DPP PARKINDO, aktivis mahasiswa lintas kampus, aktivis kepemudaan lintas organisasi, para akademisi, politisi, dan lain-lain.
Anthony Budiawan juga memperingatkan, kondisi Indonesia saat ini sudah benar-benar sedang berada di bawah ancaman kudeta oleh kelompok oligarki dan tirani.
“Indonesia sudah diambang bahaya. Negara diktator semakin nyata. Negara yang diperintah oleh sekelompok kecil tirani, dengan cara-cara represif, itu sedang dipraktekkan di Indonesia,” tutur Anthony.
Anthony menyebut, kriteria sebuah Negara sudah masuk dalam kualifikasi diktator antara lain berupaya mengutak-atik Konstitusi Negara, secara khusus untuk masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Anthony merincikan, karakteristik Negara Diktator itu antara lain, menunda Pemilu, berupaya memperpanjang masa jabatan dan kekuasaannya, bertindak represif, seperti kepada konstitusi. Mereka memaksakan kehendaknya secara represif untuk mengubah Undang Undang Dasar.
“Kemudian, tidak taat hukum. Hukum hanya jadi alat yang disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dan bukan untuk kepentingan rakyat.
Sering melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat, dan juga adanya dominant party. Atau parpol lebih dari satu yang dominan. Dan itu semua, sekarang ada dan terjadi di Indonesia,” beber Anthony.
Lebih lanjut, Anthony menyebut Dominant Party itu perlahan menjadi kartel politik dan kekuasaan. Yang merangsek masuk ke lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
“Sehingga mereka dengan sewenang-wenang membuat Undang-Undang yang bertentangan dengan kehendak rakyat, dan juga berupaya mengkudeta konstitusi demi kelanggengan segelintir kepentingan kelompok oligarki atau tirani itu,” ungkapnya.
Contoh paling nyata di Indonesia, lanjut Anthony, adalah mengenai ketentuan President Threshold atau PT yang dimonopoli oleh Dominant Party.
“PT tidak memberikan kemerdekaan kepada setiap Warga Negara untuk mencalonkan diri sebagai regenerasi kepemimpinan. Itu sudah indikasi kuat bahwa Indonesia menuju Negara Tirani, yang akan mempraktekkan diktatorisme,” lanjutnya.
Selain itu, rejim diktator juga akan menghabisi kelompok-kelompok Oposisi. Menurut Anthony, sudah hampir tidak ada lagi kekuatan oposisi yang menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol terhadap kekuasaan di Indonesia saat ini.
Kemudian lagi, lanjutnya, selain menghancurkan Oposisi, kekuasaan diktator akan menciptakan aksi-aksi propaganda atas nama rakyat.
Seperti adanya hasil-hasil survei palsu, yang menyebut masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Pemerintah.
“Mereka membuat propaganda palsu dengan menganggung-agungkan keberhasilan rejim, dengan mematikan oposisi.
"Kemudian, rezim diktator juga sangat mengkultuskan individu. Seperti yang saat ini bisa kita lihat terjadi di Indonesia,” terang Anthony.
Selanjutnya, kata dia lagi,
lembaga-lembaga pengawas kekuasaan, seperti legislatif dan yudikatif menjadi mandul. Hukum diputarbalikkan demi mengabdi kepada penguasa.
Beberapa produk regulasi atau perundang-undangan yang sudah bertentangan dengan konstitusi pun sudah semakin tidak bisa dikendalikan.
Anthony menyebut, beberapa regulasi dan perundang-undangan yang secara kasat mata sudah sangat bertentangan dengan UUD 1945, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang oleh DPR disetujui menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease (Covid-19).
Kemudian, lanjut Anthony lagi, ada Undang-Undang Omnibus Law, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang KPK dengan darurat KPK, Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN).
“Untuk Undang-Undang IKN, berbentuk Badan Otorita. Itu artinya, tidak ada rakyat di situ. Yang ada Ibu Kota Negara adalah milik penguasa, yaitu Otorita, dan itu Pemerintah Pusat. Rakyat tidak punya hak, dan hanya wajib tunduk serta bayar pajak kepada Otorita. Mirip seperti Badan Otorita Danau Toba, Badan Otorita yang lain-lainnya,” tutur Anthony.
Tak berhenti sampai di situ, Anthony juga menyebut, usulan penundaan pelaksanaan Pemilukada adalah sebagai bentuk diktatorisme. Sebab, rakyat di Daerah diambil alih, dan kinerja Penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu diambil alih oleh penguasa sendiri.
“Telah banyak sekali regulasi dan Undang-Undang yang sudah menunjukkan diktatorisme. Semua regulasi dan Undang-Undang yang saya sebut itu bertentangan dengan Konstitusi. Ya sangat bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya.
Sementara, dalam diskusi ini, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah alias Senator Kalteng, Agustin Teras Narang, juga mempertanyakan statement dari Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Yang menyatakan tiga periode untuk Presiden.
“Siapa sih Bahlil itu? Kok mengukur Konstitusi Negara Indonesia hanya dengan urusan ekonomi saja?” ujar Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menegaskan, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Konstitusi yaitu UUD 1945 itu adalah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Indonesia adalah Negara Hukum. Kok bisa-bisanya menteri mengobok-obok Konstitusi kita dan kok dia merasa berhak melakukan perubahan konstitusi dengan alasan-alasan ekonomi yang dibuat-buat dia itu?” tanya Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini menegaskan, seperti halnya Presiden, maka para menteri wajib tunduk, taat dan menjalankan amanat Konstitusi.
“Bukan malah jadi dia yang mengobok-obok konstitusi dong. Ini berbahaya sekali menteri seperti itu. Mereka kan seharusnya melaksanakan mandat rakyat secara patuh seperti yang tertuang di UUD 1945,” lanjut Teras Narang.
Sebagai anggota DPD RI, Teras Narang menyampaikan, pihaknya akan mempercakapkan kondisi ini di internal DPD RI. “Mungkin nanti di dalam rapat DPD akan kita pertanyakan juga,” ujarnya.
Sedangkan politisi PDIP, I Wayan Sudirta mengatakan, di PDIP sendiri wacana mengenai perubahan masa jabatan presiden itu sudah dicap sebagai wacana tidak baik.
“PDIP, dan saya kira partai-partai besar juga sudah menyatakan tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan Presiden itu.
Pak Jokowi juga telah menyebut bahwa dirinya tidak setuju dengan tiga periode, tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan Presiden, dan tidak setuju dengan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024.
Jadi, kita tidak setuju dengan upaya perubahan UUD 1945, apalagi soal masa jabatan Presiden,” tandas I Wayan Sudirta.
Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris yang juga sebagai Pembicara dalam diskusi ini menegaskan, Presiden dan para Menteri seharusnya bertugas menjaga dan mengawal pelaksanaan UUD 1945.
“Merekalah yang seharusnya berada di garda terdepan menegakkan Konstitusi dan melaksanakannya,” tutur John Pieris.
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) alias Senator asal Maluku ini menegaskan, kelompok-kelompok Relawan Jokowi yang gembar-gembor hendak meminta Presiden kembali mengubah UUD 1945 dengan masa jabatan tiga periode adalah kelompok yang bersengaja melecehkan konstitusi.
“Kasihan sekali mereka. Mungkin hanya karena mendapat sedikit logistik seperti bikin kaos, bikin seminar atau duit untuk konperensi-konperensi pers malah dengan membabibuta mendesak agar tiga periode Presiden. Itu sungguh pelecehan terhadap Konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media.
Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang Tokoh Bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin Negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’.
Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh.
Itulah yang mesti dikedepankan, Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga mengingatkan, Konstitusi adalah juga tatanan untuk menjadikan politik dan demokrasi di Indonesia menjadi sehat dan langgeng.
Karena itu, UUD 1945 perlu dijaga dan dirawat dengan baik.
Dan yang paling terdepan menjaga dan merawat UUD 1945 itu adalah Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Lembaga-Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Pemerintahan, Partai Politik dan seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“Dalam pendekatan filsafat hukum, politik dan demokrasi itu harus sehat. Dan dirawat dengan sehat juga. Jangan ada lagi anasir-anasir oligarki sempit atau tirani sempit yang mencoba mengkudeta Konstitusi kita. Kita semua harus menjaga dan merawat konstitusi kita,” tandas Prof John Pieris.***