Jakarta, Kabartujuhsatu.news, – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI hari ini menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, selaku perwakilan pemerintah, terkait dengan kondisi terkini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.
Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan bahwa dinamika yang terjadi sekarang membuat pengelolaan keuangan negara cukup rentan mengalami shock.
Dalam penjelasannya, Said mengungkapkan beberapa faktor utama yang katalisator, seperti kenaikan harga komoditas energi, tekanan nilai tukar rupiah yang dipicu kebijakan moneter negara maju, lonjakan inflasi, hingga situasi geopolitik.
“Ini memiliki konsekuensi pada pada postur APBN dan menyebabkan kedaruratan pada APBN 2022,” ujarnya saat membuka rapat di Kompleks Parlemen pada Kamis, 19 Mei.
Menurut Said, perubahan terjadi pada sektor belanja negara yang harus dapat mengimbangi beban subsidi energi agar mampu menjaga daya beli masyarakat.
“Yang patut kita syukuri, penambahan beberapa pos belanja negara dapat kita penuhi dengan perkiraan pendapatan negara yang bertambah.
Pemerintah memperkirakan kenaikan pendapatan negara menjadi Rp2.266 triliun dari perencanaan semula pada APBN 2022 sebesar Rp1.846 triliun,” tuturnya.
Said menambahkan, naiknya pendapatan negara disumbangkan dari penerimaan pajak maupun PNBP atas kenaikan berbagai komoditas ekspor yang menjadi andalan, yaitu CPO dan batu bara.
“Melalui perubahan komposisi pendapatan dan belanja negara, puji syukur defisit APBN kita sebagaimana usulan pemerintah malah bisa lebih rendah, dari semula 4,85 persen PDB menjadi kisaran 4,3 sampai 4,5 persen PDB,” katanya.
“Lebih rendahnya perubahan rencana defisit tahun 2022 ini makin memudahkan pemerintah softlanding ke posisi dibawah 3 persen PDB pada tahun depan,” sambung dia.
Dalam kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani memaparkan bahwa belanja negara diproyeksi naik Rp392,3 triliun dari sebelumnya Rp2.714,2 triliun menjadi Rp3.106,4 triliun.
Lonjakan tersebut utamanya dipicu karena peningkatan beban subsidi energi (BBM dan listrik) dari pagu awal Rp134 triliun untuk sepanjang tahun ini menjadi Rp208,9 triliun.
Perlu diingat bahwa angka ini belum termasuk dengan nilai pemberian kompensasi energi.
Maka, apabila subsidi dan kompensasi digabung didapati nilai outlook beban mencapai Rp443,6 triliun. Padahal alokasi di awal tahun hanya sebesar Rp152,5 triliun.
“Meningkatnya harga minyak dan tidak ada kebijakan penyesuaian harga menyebabkan beban subsidi dan kompensasi naik signifikan,” ujar Menkeu Sri Mulyani.
(Red/Her)