Jakarta, Kabartujuhsatu.news,-Sebenarnya aparat penegak hukum (APH) polisi harus benar-benar melakukan penegakan hukum sejak mulai hari pertama ia bekerja hingga akhir menjabat yaitu masuk usia pensiun pada umur 58 untuk tingkat perwira tinggi.
Tidak boleh sebagai polisi melanggar hukum apalagi melakukan sebuah kejahatan, misalnya.
Karena sebagai APH dibekali sumpah jabatan hingga doktrin berupa melayani, melindungi mengayomi.
Sehingga slogan Profesional Modern Terpercaya (PROMOTER) menjadi Presisi sekalipun harus dibuktikan dalam tingkah laku polisi, mulai dari pangkat terkecil hingga Jenderal Bintang Empat.
Menjadi polisi yang bermitra dengan Komisi III DPR RI juga sepatutnya mendorong upaya lahirnya UU Pembuktian Terbalik dalam hal kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam kesempatan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III bisa disampaikan gagasan bagaimana menyelamatkan negara ini dari aksi para koruptor dengan sistem pembuktian terbalik dalam soal kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
Dengan TRIBRATA-nya hendaknya polisi benar-benar menjalankan sumpah jabatannya. Jangan sampai tugas dan fungsi polisi dilakukan pula oleh ormas sehingga nanti akan membuat kecil hati ataupun tersinggung.
Isi TRIBRATA sebagai berikut:
KAMI POLISI INDONESIA
1. BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAKWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.
2. MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945.
3. SENANTIASA MELINDUNGI MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Masyarakat tahu banyak penyimpangan yang seakan dibiarkan terjadi.
APH seakan tidak kuasa menghadapi adanya perdagangan minuman keras, perjudian online, prostitusi, narkoba dan kejahatan lain.
Melihat kecanggihan teknologi IT saat ini polisi bisa memonitor siapa saja yang ingin dipantau.
Bukankah dengan mendaftarkan nomor HP ke nomor 4444 otomatis data itupun bisa diakses kepolisian? .
Belum lagi data yang diperoleh dari EHAC dan Aplikasi Kesehatan berupa PeduliLindungi.
Sehingga tidak mungkin ada teroris di tanah air karena sudah terdeteksi sejak awal.
Bila karena ada kesenjangan, maka polisi bisa membantu tugas Pemerintah mencegahnya bukan hanya"mengobatinya" saja dengan cara menangkap, melumpuhkan hingga membunuhnya sebagaimana yang sudah tercatat di ruang publik.
Ada semboyan umum _Prevent is better than Cure,_ mencegah lebih baik daripada mengobati.
Ibaratnya, lebih baik menjaga kesehatan dari pada berobat. Nah, fenomena sosial inipun menjadi perhatian polisi.
Bila kecemburuan sosial adalah titik awal anarkis dan radikalis menjadi acuan, maka hebatnya bila Polisi membatu dengan upaya pencegahan terjadinya korupsi.
Mencegah peredaran minuman keras. Mencegah prostitusi terjadi, dan seterusnya.
Berapa gaji dan tunjangan kinerja seorang jenderal per bulan?..
Apakah lebih dari Rp. 100.000.000? Tentu tidak. Paling tidak sebulan sekitar Rp. 25.000.000 atau sekitar Rp. 300.000.000 setahunnya.
Nah, ini pun hendaknya menjadi perhatian PPATK dan KPK bila kedua institusi tambahan ini masih ingin memiliki makna.
Negara saat ini tengah menghadapi kesulitan anggaran.
Bayangkan saja beban bunga utang saja lebih 400 triliun rupiah harus dibayar.
Mau dibawa kemana negara ini bila APH saja tidak mampu menegakkan hukum sehingga keadilan semakin jauh dari isi Sila Ke-5 Pancasila.
Kita perlu Revolusi Birokrasi di tubuh Polri.
Penulis : Suta Widhya SH, Sekjen Gerakan Advokat dan Aktivis