Malang, Kabartujuhsatu.news,-Cangkir Opini bersama organisasi perempuan Malang Raya (Nasyiatul Aisyiah, Korps Immawati, dan Perempuan Merah) mengadakan kegiatan bertajuk Mengulas Fenomena: Korelasi Gender dan Islam Wasatiyah di Lelenggahan Warung Tani Panjava, Malang.
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk menciptakan kondusifitas di Malang Raya di tengah maraknya isu radikalisme yang mencuat di beberapa waktu lalu.
Menurut Ketua Pengawas Cangkir Opini, Randi Satrizal L, kegiatan ini mengundang organisasi perempuan karena perempuan rawan untuk disusupi paham-paham ekstremisme agama, apalagi dengan alasan-alasan surga, jihad dan pahala yang berlipat ganda. Tegas Pemuda asal Pulau Sula, Maluku Utara itu.
Selain mengundang perempuan, kegiatan ini juga mengundang pembicara dari eks napiter asal Purwerejo, Jawa Tengah bernama Ika Puspitasari.
Ika Puspitasari menegaskan bahwa paham-paham keagamaan yang keras dulu di dapatkan sewaktu bekerja di Taiwan, karena waktu senggang yang banyak, ia memanfaatkannya untuk mencari Islam melalui media sosial. Terang Perempuan yang pernah jadi TKW di Taiwan itu.
Menurutnya, pengalaman beragama yang menuntunnya ke paham ekstermisme tidak lepas dari motivasi dia untuk menguatkan pondasi keagamaan yang dianggapnya lemah selama ini. Sehingga simbol-simbol keagamaan mulai dikenakan, tidak suka dengan orang kafir dan bersepakat dengan jihad yang diserukan oleh kelompok radikalis-ekstermis tentang menegakkan khilafah versi mereka.
Selain Ika, ada juga Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bid. Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga, Ali Muthohirin.
Ali dalam pemaparannya memiliki segudang pengalaman yang seringkali bergaul dengan kelompok ekstremis.
Bahkan dalam beberapa waktu, beberapa temannya yang aktif dikelompok tersebut suka mengajak dirinya dan keluarga untuk ikut bergabung, tapi ditolak karena paham keagamaan yang dipahami oleh Ali sangat berbeda dengan yang dimiliki kelompok itu. Kata Pria asal Panceng Gresik tersebut.
Menurutnya gerakan ini mewabah di beberapa daerah karena mereka memiliki support system yang kuat dari segi pendanaan dan SDM yang militan. Ditambah karakter orang-orang tersebut yang keras dan tidak suka berkompromi dengan siapapun.
Bahkan dakwah yang diajarkan di Muhammadiyah yang mengedepankan sifat santun, lemah lembut dan ramah itu dinilai tidak efektif karena membiarkan orang untuk tetap berbuat maksiat, atau tidak tegas dalam mendakwahkan Islam, Tegas Ali.
Hal ini juga ditegaskan oleh Luluk Dwi Kumalasari, Ketua Prodi Sosiologi UMM yang turut menjadi pembicara diagenda tersebut, menutyrkan bahwa gerakan seperti bisa masif tidak lepas dari dukungan perempuan yang militan dan totalitas dalam mengekspresikan ajaran agamanya.
Perempuan bisa saja menjadi support system utama apabila mereka tidak memiliki paham-paham agama yang kaffah dan menghargai nilai kemanusiaan dan mengakui perbedaan. Inti islam itu kan keselamatan, maka yang menafsirkan islam sebagai agama yang pembenci, suka dengan kekerasan, bahkan tidak menghargai hak hidup orang lain itu sudah salah dan harus diluruskan.
(Rifan Selbhy)