Bandung, Kabartujuhsatu.news - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan perlu dilakukan penguatan kembali peran dan fungsi MPR RI.
Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat, sebab, MPR pasca amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang bersifat mengikat atau regeling.
"Penguatan fungsi dan kewenangan MPR RI perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kedaruratan politik atau konsitusi di Indonesia.
"Selain untuk menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar bangsa Indonesia selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik," ujar Bamsoet usai diwisuda sebagai Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Senin (15/5/23).
Acara wisuda dipimpin langsung Rektor Unpad Rina Indiastuti didampingi Rektor ke-11 Unpad Tri Hanggono, Ketua Dewan Profesor Arief Anshory Yusuf, Wakil Rektor Arief S. Kartasasmita, Ida Nurlinda, Hendarmawan dan Yanyan Mochamad Yani, Dekan Fakultas Hukum Idris, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Nunuy Nur Afiah, serta Dekan Fakultas Farmasi Ajeng Diantini.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik ataupun krisis konstitusi di Indonesia.
Namun, bangsa Indonesia tetap harus melakukan antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
Semisal, terjadi krisis politik yang membuat Pemilu yang harusnya dilaksanakan 5 tahun sekali, tidak dapat dilakukan tepat waktu karena alasan kedaruratan.
Penundaan Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam pasal 431.
Ditetapkan bahwa Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka.
Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu.
"Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada kekosongan pemerintahan, jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner.
"Sebab, di dalam konstitusi belum mengatur perpanjangan atau penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden, serta Anggota DPR/MPR dan DPD RI.
"Kalau kepala daerah ada Plt, tetapi bagaimana dengan Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota MPR dan Anggota DPD. Apakah disebut Plt Presiden, Plt Wakil Presiden, Plt Anggota DPR dan seterusnya.
"Krisis politik menjadi kenyataan tidak terhindarkan karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu," urai Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD (PADIH UNPAD) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini juga menyoroti mengenai pengangkatan presiden dan wakil presiden terpilih yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR RI (TAP MPR). Sebab, penetapan presiden selama ini hanya berupa Surat Keputusan (SK) KPU RI. Sementara, TAP MPR hanya mengatur tentang pemberhentian presiden/wakil presiden dan pengangkatan presiden/wakil presiden dalam satu periode masa jabatan selama 5 tahun.
"Saat pelantikan presiden/wakil presiden diawal masa jabatannya tidak ada TAP MPR. Hanya mengatakan sumpah di depan MPR, di depan Ketua Mahkamah Agung melalui berita acara.
"Tidak ada TAP MPR-nya hanya berupa keputusan KPU, itu kalau terjadi apa-apa bagaimana mencabutnya," tegas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia dan Ketua Umum Keluarga Besar Olahraga Tarung Derajat ini menambahkan, kedaruratan konstitusi dapat pula terjadi ketika ada kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan DPR (legislatif), atau terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif).
"Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
"Maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara.
"Langkah antisipasi mengatasi krisis politik atau krisis konstitusi ini dengan cara mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.
"Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik atau konstitusi antar lembaga negara atau antar-cabang kekuasaan," pungkas Bamsoet. (*)