Makassar, Kabartujuhsatu.news, - Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para instansi atau lembaga pemerintah.
Para pejabat kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah berlomba memperoleh opini tersebut.
Bahkan ada pejabat yang tertangkap penegak hukum karena kedapatan melakukan suap demi memperoleh opini WTP, Opini WTP diperjualbelikan.
Sebagai contoh, kasus dugaan suap yang dilakukan Bupati Bogor terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena menginginkan laporan keuangan Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021 mendapat opini WTP.
Aksi suap itu diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan pada 27 April 2022.
Opini WTP ini sering dijadikan jualan politik dalam meraih simpati dari rakyat.
Juga ada yang menjadikan sebagai tameng terhadap berbagai permasalahan keuangan yang ada dalam instansi atau pemerintah daerah atau lembaga tersebut.
Sebagai cara untuk menyembunyikan berbagai penyimpangan di dalam lembaga atau pemerintah daerah tersebut.
Oleh karenanya, banyak media massa yang memberitakan raihan opini WTP dari suatu instansi atau daerah atau lembaga sebab berita seperti ini sangat menghibur.
Permasalahannya, opini WTP tak menjamin tidak adanya korupsi.
Di beberapa entitas yang memperoleh WTP, pejabatnya justru terjaring operasi tertangkap tangan (OTT) oleh penegak hukum.
Sehingga masyarakat sangat perlu mendapat penjelasan yang benar tentang opini WTP agar masyarakat tidak lagi menganggap bahwa lembaga atau instansi atau pemerintah daerah yang mendapat opini WTP adalah lembaga yang bersih dari kejahatan suap dan korupsi.
Opini WTP bukan untuk memberikan jaminan tidak ada korupsi.
Sejumlah kepala daerah yang terjerat korupsi meski mendapat opini WTP, diantaranya, Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar yang ditangkap pada 12 Desember 2018.
Selain itu, kepala daerah penerima opini WTP yang terjerat korupsi di KPK antaralain, Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Riau Rusli Zainal, Gubernur Riau Annas Maamun, Bupati Bangkalan Fuad Amin, Wali Kota Tegal Ikmal Jaya, Wali Kota Blitar M Samanhudi Anwar, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, dan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar.
BPK memberi opini atas kewajaran laporan keuangan, empat jenis opini sesuai tingkat kewajarannya, yaitu: wajar tanpa pengecualian (WTP), wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar (TW), dan tidak memberikan pendapat (TMP).
Opini WTP diberikan jika dalam segala hal yang material, laporan keuangan sudah sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Sedang WDP jika ada ketidaksesuaian material satu atau beberapa pos laporan keuangan namun tidak mempengaruhi kewajarannya secara keseluruhan.
Sementara, TW jika laporan keuangan secara keseluruhan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tak menyajikan secara wajar.
TMP atau disclaimer jika auditor dibatasi geraknya, tak bisa mengumpulkan bukti audit secara sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan.
Transaksi di pemerintahan sangat besar, sering terjadi penyimpangan berupa kemahalan harga (mark-up), pembelian barang dan jasa tak layak, fiktif dan lainnya.
Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat "rekayasa".
Sehingga boleh jadi hal ini luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum.
Sebagai contoh, lembaga atau Pemda melakukan transaksi pembelian barang atau jasa dan tercatat dengan benar dan wajar sesuai prinsip akuntansi pemerintahan.
Maka pada pos tersebut dapat dikatakan bahwa pemda tersebut sudah WTP.
Tetapi, benarkah bahwa transaksi yang disajikan dengan wajar di dalam Laporan Keuangan maka transaksi tersebut telah benar-benar bersih dari praktik korupsi? Itu belum tentu, boleh jadi dalam transaksi tersebut terjadi mark-up.
Bukti-bukti transaksi memang telah dicatat sesuai dengan nilai yang tertera di dalam kuitansi pembayaran.
Tetapi, boleh jadi harga dalam transaksi tersebut tidak sebesar yang dinyatakan dalam bukti.
Atau, mungkin saja terdapat persekongkolan jahat dalam mengatur harga untuk meraup keuantungan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa secara formal mungkin transaksi tersebut benar yang didukung oleh bukti-bukti yang valid, namun secara riil ternyata transaksi tersebut telah merugikan negara.
Oleh karena itu tidak ada jaminan bahwa jika sudah mendapat opini WTP maka tak terjadi korupsi.
Jadi, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP hanyalah penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan, bukan jaminan tidak ada korupsi.
Opini WTP dari BPK tidak dapat dijadikan patokan untuk menyatakan suatu pemerintah daerah (Pemda) bebas dari korupsi.
Opini tersebut hanya sebagai patokan untuk melihat kepatutan dan kewajaran dari segi peraturan yang berlaku, khususnya dalam hal laporan keuangan suatu daerah. (*)