Jakarta, Kabartujuhsatu.news, - Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mendukung langkah Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang mendesak agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, segera direvisi, antara lain untuk melarang penjualan ritel online lewat cross border commerce atau lintas negara secara langsung ke konsumen, sehingga bisa melindungi UMKM dalam negeri dari gempuran dunia maya, khususnya social commerce Project S TikTok Shop.
Produk dari luar yang masuk ke Indonesia harus melalui mekanisme impor biasa, tidak boleh mendapatkan keistimewaan.
Sebagai bentuk perlakukan yang sama, mengingat produk UMKM dalam negeri saja harus mengurus izin edar, SNI dan sertifikasi halal.
"Selain diatur melalui Permendag, pemerintah juga perlu membuat peraturan yang lebih tinggi melalui Peraturan Pemerintah (PP) untuk membatasi dan melindungi penggunaan data pribadi oleh platform digital, sekaligus sebagai turunan dari UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
"Mengingat saat ini, platform digital dengan mudahnya mengumpulkan berbagai data pribadi yang diakses melalui handphone.
"Seperti daftar kontak, camera dan microphone untuk membuat video, lokasi, pola interaksi, history website, konten yang ditonton, akun lain yang diikuti, hingga pesan pribadi dalam chat," ujar Bamsoet dalam Forum Bisnis Ikatan Alumni UPN Veteran Yogyakarta, di Jakarta, Sabtu (29/7/23).
Turut hadir antara lain, Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki, Rektor UPN Veteran Yogyakarta Prof. Mohamad Irhas Effendy, serta Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Alumni UPN Veteran Yogyakarta Zahrul Azhar Asumta.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, jumlah pengguna TikTok di dunia saat ini mencapai 1,4 miliar. Indonesia menjadi yang terbesar kedua di dunia dengan jumlah pengguna mencapai 113 juta users. Gross Merchandise Value (GMV), nilai total barang dagangan yang dijual selama jangka waktu tertentu melalui situs pertukaran pelanggan ke pelanggan, dari TikTok Shop di Asia Tenggara pada kurun waktu tahun 2022 sudah mencapai USD 4,4 miliar. GMV TikTok Shop Indonesia hingga Q1 2023 dikabarkan sudah mencapai USD 2,5 miliar.
"Keberadaan TikTok Shop turut berdampak pada perubahan perilaku konsumen. Menurut survey di Indonesia, Thailand, dan Filipina, sebanyak 85 persen pengguna TikTok Shop mengaku mengurangi frekuensi belanja melalui channel lain termasuk channel offline yang biasa digunakan UMKM. Kondisi serupa juga dihadapi berbagai negara lain. Di Inggris misalnya, 50 persen produk yang dijual melalui TikTok Shop berasal dari China," jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan bahwa, selain memiliki TikTok Shop, TikTok kini juga memiliki Project S. Sebuah platform elektronik niaga yang diluncurkan perusahaan induk TikTok, ByeDance.
"Berbeda dengan TikTok Shop, konsep Project S menjual langsung dagangannya kepada konsumen dari lintas negara.
"Tidak hanya melarang Project S, berbagai negara dunia bahkan sampai akan melarang TikTok beroperasi di negara mereka untuk melindungi kedaulatan digital dan pasar mereka. Antara lain India, Taiwan, Uni Eropa, Kanada, hingga beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti Montana.
"Indonesia tak perlu ragu melarang Project S TikTok. Keberpihakan terhadap eksistensi UMKM merupakan keniscayaan.
"Sebagai 'jantung' perekonomian nasional, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional sangat besar dan vital.
"Yakni penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,9 persen, serta menyerap mayoritas tenaga kerja mencapai 97 persen," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, walaupun pihak TikTok sudah menyatakan tidak akan membuka Project S di Indonesia, kita tetap harus waspada. Bukan hanya terhadap TikTok, melainkan juga platform sejenis lainnya.
"Algoritma yang dimiliki platform dapat mengetahui produk mana yang diminati pasar sebuah negara, sehingga mereka bisa menjiplak dan menjualnya di negara tersebut dengan harga yang lebih murah.
"Platform media sosial sebagai produsen dan penjual, juga memiliki kemampuan 'memanipulasi' konten untuk menjadi populer yang pada akhirnya mendukung penjualan produk mereka," pungkas Bamsoet. (*)