Jakarta, Kabartujuhsatu.news, Ikatan Media Online (IMO) – Indonesia resmi menggelar acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-6 dirangkaikan dengan Seminar Nasional yang berlangsung di Sparks Life Hotel Jakarta, Sabtu (11/11).
Ketua umum IMO – Indonesia Yakub F. Ismail mengaku puas atas terlaksananya dua agenda penting yang dihelat secara bersamaan.
"Tentu ini baru kali pertama kita lakukan (menggelar HUT IMO dan Seminar Nasional secara serentak-red). Namun, hasilnya cukup menggembirakan," terang Yakub.
Pihaknya tak lupa memberikan apresiasi kepada keempat narasumber yang hadir dalam acara tersebut.
Keempat penyaji tersebut antara lain, Dr. Firman Wijaya selaku Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Prof. Henri Subiakto (eks Staf Ahli Kominfo), Dr. Agus Sudibyo (eks anggota Dewan Pers) dan Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Ir. Drs. Abdul Rahman Ma'mun.
"Semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam memajukan industri pers tanah air," tandasnya.
Adapun dalam seminar ini, keempat narasumber memberikan pandangan sesuai bidang masing-masing terhadap tema besar tentang "Elektabilitas dalam Pusaran Media".
Dalam pandangan, Firman Wijaya menilai ada keterkaitan antara elektabilitas, popularitas, maupun favorabilitas. Kendati begitu, kata dia, semua itu tidak akan berarti apapun terkecuali ada peran penting media.
"Benar bahwa baik elektabilitas, favorabilitas dan popularitas tidak selalu berbanding lurus, namun peran media dapat saja menampilkan pemaknaan dan sudut pandang yang berbeda," ungkap Firman.
Lanjutnya, kekuatan media lewat kerangka tertentu, narasi tertentu, mampu menawarkan narasi dan gagasan tertentu.
"Di mana hal itu dapat memberikan konstruksi dan mendekonstruksi suatu nilai tertentu seseorang politisi ataupun partai politik bahkan memberi aksen tertentu yang mempengaruhi tingkat elektabilitas, popularitas, dan favorabilitaspolitisi ataupun partai politik," terangnya.
Sementara, menurut Henri Subiakto, narasi elektabilitas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lembaga-lembaga survei yang mulai berkembang masif di Indonesia sejak 2004 silam.
"Metode ini dipakai untuk menjajaki opini publik tentang kandidat tertentu sekaligus mengupgrade kandidat bersangkutan. Namun, dalam perkembangannya tak sedikit bermunculan lembaga survei abal-abal," ucapnya.
Dirinya percaya bahwa kekuatan cuan tetap menjadi parameter dari arah dan kepentingan sebuah hasil survei.
"Makanya bisa dicek, dari mana sumber-sumber pendanaan survei itu. Adakah yang benar-benar terbuka soal itu? Maka di sinilah peran media untuk menjernihkan kebenaran di balik survei-survei tersebut," ujar Henri.
Senada dengan itu, Agus Sudibyo mencoba meletakkan peran media massa dal konteks elektabilitas. Menurutnya, justru konsepsi elekstabilitas sendiri sulit diprediksi hasil akhirnya.
"Elektabilitas itu secara esensi, lebih tinggi nilai atau posisinya dibanding katakanlah likeabilitas (kedisukaan) dan popularitas. Sebab, seseorang meski banyak disukai atau dikenal luas, belum tentu dipilih," paparnya.
Terakhir, menurut Rahman Ma'nun, peran media adalah menjadi amplifier elektabilitas kandidiat hasil dari lembaga survei.
Ia memandang media cenderung berhenti pada menyampaikan informasi elektabilitas kandidat yang bersumber pada lembaga survei.
"Sayangnya media tidak memenuhi hak publik untuk tahu latar belakang lembaga survei dalam hal terkait dengan kandidat apakah dari konsultan, sponsor atau afiliasi," katanya.
Untuk itu, ia mengharapkan agar media perlu menegakkan posisinya sebagai pilar demokrasi dengan tetap independen, tidak partisan, cover booth side dan menjaga dan memenuhi hak masyarakat atas informasi.