Said SH: Lembaga Tinggi Negara MA RI Hendaknya Perhatikan Masyarakat Pencari Keadilan Politik
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Daftar Blog Saya

    Said SH: Lembaga Tinggi Negara MA RI Hendaknya Perhatikan Masyarakat Pencari Keadilan Politik

    Kabartujuhsatu
    Senin, 18 Maret 2024, Maret 18, 2024 WIB Last Updated 2024-03-19T02:14:22Z
    masukkan script iklan disini

    Jakarta, Untuk ketiga kalinya Komunitas Cinta Pemilu Jujur Adil (KCP-Jurdil) mengajukan permohonan  AUDIENSI ke Mahkamah Agung Republik Indonesia agar segera bersikap atas Pemilu 2024. 

    Kali ini pada Senin (18/3) siang perwakilan dari KCP-JURDIL mendatangi Mahkamah Agung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat - DKI Jakarta Indonesia 10110. 

    Mereka tetap memohon kepada Mahkamah Agung agar  memberikan jawaban permintaan  audiensi  dalam rangka permohonan segera diterbitkan/ keputusan _Supreme Court Order_ terhadap pelanggaran hukum yang terjadi dengan  diloloskannya pasangan yang tidak memenuhi syarat dalam UU nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU sendiri mengikuti   Pemilu bagi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia   Tahun 2024.

    "Praktik Kecurangan yang sangat nyata didominasi oleh tangan kekuasaan yang ikut campur tangan dan berpihak kepada Paslon nomor 2." Ucap Said SH

    Said menilai saat ini telah terjadi darurat hukum dimana terjadi pelanggaran hukum  sejak ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023; putusan KPU yang menerima paslon yang tidak memenuhi syarat UU nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU sendiri atas batas usia minimal 40 tahun; hingga Putusan DKPP yang tidak tegas dalam mengeluarkan sanksi terhadap KPU yang jelas-jelas melanggar hukum dan Undang-Undang. 

    Menurut Said tindakan KPU  dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dengan memberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi  nomor 90 Tahun 2023 pada Oktober 2023 seolah sebagai Undang-Undang yang baru dan menjadi pintu masuk ke KPU. 

    "Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh KPU dengan  menerima mentah-mentah pengajuan pencalonan 25 Oktober 2023 tanpa menunggu Undang-Undang Pemilu dirubah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu. 

    "Padahal DPR lah yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang bersama Presiden merupakan kejahatan demokrasi."Lanjut Said. 

    Ia menilai tindakan yang dilakukan oleh KPU sangat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam melaksanakan Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017, dimana saat ini telah terjadi dugaan pelanggaran hukum yang termaktub dalam Ketentuan yang diatur dalam Pasal 169 tentang Persyaratan nenjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pada huruf  (q) yang berbunyi berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.

    "Penerimaan Gibran Rakabuming Raka dilakukan tanpa adanya amandemen UU pemilu No 7 tahun 2017 terlebih dahulu oleh DPR, melainkan langsung dilaksanakan oleh KPU. Artinya, KPU sudah melewati batas wewenang dalam melaksanakan tugasnya." Tandas Said pula. 

    Sebagai Lembaga Tinggi Hukum di negeri ini, maka Said  yang tergabung dalam Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-Jurdil) memohon kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengambil langkah hukum menghentikan carut marut pelaksanaan hukum di negeri ini.

    Alasan Said, Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah  Lembaga Tinggi Negara selain Lembaga Tinggi Presiden dan Lembaga Tinggi DPR yang dapat  segera menerbitkan _Supreme court order_ untuk membatalkan Keputusan KPU yang menerima Paslon Nomor 2 karena telah nyata-nyata sebagai proses dan produk yang melanggar hukum dari sejak dari Mahkamah Konstitusi, KPU hingga DKPP. Mininal kami mendapatkan jawaban dua/tiga surat yang telah dikirim pada Senin (12/2) dan Jumat (16/2)  dengan bukti surat tanda terima terlampir. 

    Menurut Said, semua orang   tahu bahwa KPU menerima pendaftaran Paslon nomor 2 pada 25 Oktober 2023 setelah adanya Keputusan MK No. 90 Tahun 2023 tanpa adanya perubahan lebih dahulu dari peraturan KPU dan tanpa memperhatikan bahwa Keputusan MK yang sudah melampaui wewenangnya merubah UU NOMOR 7 Tahun 2017. 

    Padahal kita tahu membuat Undang-Undang adalah domain DPR bukan Mahkamah Konstitusi yang telah mengeluarkan keputusan seolah setara dengan Undang-Undang dengan menyisipkan tafsir baru yang membolehkan peserta capres dan cawapres dengan klausa baru "dan/atau pernah menjabat sebagai kepala daerah dari hasil Pilkada" dst.

    "Berdasarkan penjelasan di atas, maka yakin bahwa saat ini telah terjadi praktik kenegaraan yang tidak lagi berdasarkan atas hukum ( _rechtsstaat_ ) melainkan berdasarkan kekuasaan ( _machtstat_) semata."Tutup Said.

    (Hsw/**) 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini