Surabaya, Kabartujuhsatu.news,- Penyidik unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kabupaten Malang patut diapresiasi atas penahanan pelaku pemerkosaan anak di bawah umur, hal itu disampaikan pengamat Kepolisian asal Surabaya, Didi Sungkono, S.H., M.H.
"Langkah tepat Prosedural sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), UU No 08 Tahun 1981. Tersangka sudah meringkuk dalam tahanan Polres Kabupaten Malang, dan dijerat dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah Menjadi UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak," ujar Didi Sungkono, Jumat (17/5/2024)
“Patut diapresiasi langkah penyidik unit PPA, Brigadir Dua Fatekah, dengan responsif dan selalu komunikasi dua arah antara pelapor dan penyidik, hingga terbangun rasa kepuasan masyarakat”.lanjutnya.
Didi Sungkono juga mengatakan, gerak cepat penyidik dalam perkara ini patut diapresiasi karena masyarakat mendapatkan pengayoman sebagai pelapor.
"Masyarakat merasa terlindungi dengan hadirnya Polri. Perlu dijadikan contoh bagi unit-unit lain dalam merespon laporan masyarakat yang sudah terang pidananya, apalagi ini perkara rawan pemerkosaan anak dibawah umur," ujarnya.
Menurut Didi Sungkono, Polri itu sebagaimana diterangkan dalam UU No 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian salah satu tugasnya adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Rasa dan frasa terayomi, terlindungi itu dijabarkan melalui perbuatan, tindakan nyata, bukan hanya lips service, jargon-jargon dari Kapolri sudah sangat istimewa PROMOTER (Profesional, Modern, Terpercaya), PRESISI (Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan).
"Masyarakat awam tahunya Polri harus melaksanakan tugas secara cepat, tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggungjawab serta berkeadilan. Inilah yang dinamakan norma. Ingat ya, salah satu marwah keberhasilan Polri adalah rasa kepuasan masyarakat untuk mendapatkan keadilan," ujar Didi.
"Dan satu yang harus dipegang oleh para alumnus-alumnus Akpol, jangan pernah alergi kritik yang konstruktif. Kritik yang membangun adalah salah satu kontrol dari masyarakat untuk Kepolisian," kata Didi Sungkono.
Didi juga mengatakan, salah satu keberhasilan Polri adalah rasa kenyamanan masyarakat dan rasa kepuasan masyarakat untuk mendapatkan keadilan serta pelayanan dalam penegakan hukum.
"Dalam perkara ini SP2HP juga sangat terang dan jelas. SP2HP juga selalu tepat waktu dan diterima dengan baik oleh pelapor, kita berikan penilaian dua jempol untuk tindakan Penyidik Polres Kab. Malang Unit PPA," ujar Didi Sungkono calon doktor hukum ini.
"Saya yakin awalnya Kasatreskrim tidak dilaporkan secara utuh oleh Aiptu Leha (Bintara senior) yang awalnya melakukan penanganan. Karena Kasatreskrim Polres Kab.Malang dikenal santun, tegas dan pro aktif dalam menindaklanjuti setiap laporan dari masyarakat. Terbukti setelah dimedia massakan, surat panggilan SP2HP langsung ditanda tangani oleh Kasatreskrim,” ujarnya.
Didi mengatakan memang banyak keluhan atas pelayanan Unit PPA Polres Kabupaten Malang, Bintara senior yang bernama Leha (aiptu) sangat susah diajak koordinasi oleh masyarakat.
"Kalau sekarang ini pelapor sudah merasa terlayani dengan baik, ini kan anak dibawah umur, rasa trauma pasti ada, ini kok tidak peka sebagai Bintara senior di unit PPA. Kinerja seperti ini harus dievaluasi oleh Kapolres Kabupaten Malang," terang Didi.
"Citra dan marwah Polri dipertaruhkan atas tidak profesionalnya penanganan ini. Dalam KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) Pasal 184 tentang alat bukti sudah terpenuhi unsur, ada laporan Polisi, ada keterangan korban dan saksi serta ada bukti Visum et repertum, lantas apa lagi," ujar Didi.
"Tidak usahlah membodohi masyarakat, slogan-slogan Presisi hanya pemanis bibir saja," ucap pengamat Kepolisian ini.
"Apa yang dilakukan penyidik tersebut sudah sesuai Prosedur KUHAP, ini Pelaku dijerat dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, dan UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak. Nanti dalam persidangan Pengadilan akan terapkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang sistem Peradilan anak, karena anak ini korban, remaja Putri dicekoki miras dan dilakukan rudapaksa (pemerkosaan)," tegas Didi.
"Kedepan ini adalah kritik yang konstruktif, selalu pro aktif, tindakan abai atas laporan masyarakat akan berakibat tidak baik bagi institusi Kepolisian. Apalagi kalau masyarakat berkali kali menanyakan perkembangan laporan tidak digubris (diabaikan), itu namanya tidak profesional," tegas Didi.
"Sudah jelas dalam aturan hukum Undang Undang No 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Keamanan dalam negeri adalah Polri. Kewenangan Polri ni sangat luas, disamping mengayomi, melindungi, melayani masyarakat Polri juga melakukan upaya penegakkan hukum. Dan diatur dalam UU No 08 Tahun 1981 KUHAP (Kitab Undang-undang hukum acara Pidana)," urai Didi.
Polri bisa melakukan upaya paksa sebagaimana diperintah oleh undang undang. "Apa itu upaya paksa ?. Penyidik bisa melakukan penangkapan, penahanan dengan kewenangannya seperti sekarang ini. Gelar, tetapkan sebagai tersangka, dan dilakukan upaya penahanan,” ujarnya.
Sebelumnya, perempuan bernama Rina (ibu korban pemerkosaan) asal Kec. Tumpang, Kab Malang, Jawa Timur yang melapor ke PPA Satreskrim Polres Kab. Malang, mengatakan mendapat surat SP2HP.
"Ini barusan saya terima SP2HP yang kedua setelah diberitakan (Judul:: Penyidik PPA Polres Kab Malang abaikan laporan, akan di PROPAMKAN) langsung saya ditelpon oleh penyidik PPA yang bernama Fatekah, berpangkat Bripda, ,perilaku santun penyidik sangat menenangkan kami," ungkap Rina.
Rina menceritakan, "Laporan tersebut bermula anak saya (yang menjadi korban pemerkosaan). Laporan tersebut sekitar tanggal 23 April 2024 , namun seiring berjalannya waktu ada Polisi yang telpon saya, disuruh hadir ke Polres Kab Malang pada Hari Sabtu (11/5/2024), untuk dilakukan mediasi dengan terlapor."
Akan tetapi Rina tidak mau melakukan mediasi, namun Rina menyerahkan proses hukum yang berlaku terhadap tindakan terlapor.
"Saya meminta kepada penegak hukum untuk segera diproses laporan saya. Setelah dipublish dimedia massa, mediasi tidak dilakukan, dan penyidik juga tidak mengarahkan atau intervensi untuk mediasi," terang Rina.
Perlu diketahui, beberapa Minggu lalu, peristiwa tidak puasnya masyarakat dengan kinerja unit PPA Polres Kabupaten Malang bermula dari kejadian salah seorang pelajar inisial NV yang berusia belum genap 18 tahun, tepatnya masih kelas dua SMK. Remaja putri tersebut mengaku diperkosa seorang laki laki dewasa bernama Fajar (23) asal desa setempat.
Orang tua Pelajar wanita tersebut melaporkan laki-laki tersebut diatas karena mendapatkan pengakuan dari anaknya, bahwa dirinya dipaksa melakukan hubungan badan.
Sebelum dipaksa melakukan hubungan badan remaja tersebut dicekoki miras hingga lemas tidak berdaya dan akhirnya tragedi memilukan tersebut terjadi. Sontak sang ibunda dan ditemani beberapa saksi saksi melaporkan laki laki yang telah merenggut kegadisan anaknya.
Sebelum diperkosa, remaja putri tersebut dipukuli, ditendang, dipukul perutnya hingga lemas tidak berdaya,
“Saya tidak kuat untuk melawan laki-laki tersebut, saya juga takut karena diancam. Kejadian pertama dilakukan di rumah pak Dhe (paman) ditahun 2023 lalu sekira bulan Oktober. Masih dibulan dan tahun 2023 lalu, Pelaku yang bernama Fajar kembali mengajak hubungan badan di desa dringu. Saya diajak kesana secara paksa, katanya ada keperluan mendadak, tapi saya dibohongi," ujar korban.
"Ditahun 2024 ini peristiwa tersebut terulang kembali. Dengan cara yang sama, saya ditakut-takuti mau dibunuh, Saya diam pasrah karena tidak berani, Terlapor yang bernama Fajar adalah Preman didesa, terkenal suka berkelahi dan jagoan," ujar korban.
Orangtua NV curiga karena anaknya semakin pendiam dan cenderung melamun serta mengurung diri. Dengan rasa penuh curiga, setiap anaknya habis menerima telpon langsung pergi dengan mimik ketakutan, seperti diancam.
"Saya sudah curiga, akhirnya berinisiatif membuntuti anak saya. Tepatnya pada hari Selasa jam 4 sore, saya kaget sepeda motor anak saya ada di rumah Fajar. Akhirnya saya langsung masuk kerumah tersebut, di temui adik Fajar yang bernama Darul," ujar Rina.
"Namun Darul mengatakan tidak melihat anak saya. Saat saya memaksa masuk dan mendapati Fajar keluar kamar dengan menggunakan celana dalam saja. Saya marah dan berteriak memanggil anak saya, namun Fajar dan Darul malah mengancam akan memukuli saya kalau ngotot mau masuk kamar," ujar Rina.
Melihat gelagat yang tidak baik Rina keluar dari rumah Fajar, dan memanggil saudaranya untuk dijadikan saksi. Karena jarak rumah korban 1 km dari rumah Fajar, setelah kembali dengan saudaranya, rumah Fajar sudah sepi dan anaknya juga sudah tidak ada ditempat itu.
Ketika Rina dalam perjalanan pulang dari rumah Fajar, ia berpapasan dengan anaknya dan akhirnya anaknya diajak pulang. Sesampainya dirumah, anaknya bercerita sambil menangis mengatakan apa yang menimpa dirinya.
Karena tidak terima anaknya yang masih sekolah dan berusia dibawah umur diperlakukan seperti itu oleh Fajar, akhirnya Rina melaporkan kejadian itu ke Unit PPA Polres Kabupaten Malang. Sesampainya di Polres Malang dibuatkan LP dan dianterkan Visum et repertum ke RSUD Kepanjen Kabupaten Malang.
Yang menjadi ketidak puasan pelapor adalah tidak ada tindakan lebih lanjut dari penyidik unit PPA Satreskrim Polres Kabupaten Malang. Sejak melaporkan SP2HP juga tidak pernah diterima. Saksi-saksi sudah diperiksa semua, akan tetapi terlapor masih bebas berkeliaran di desa seakan tidak terjadi apa apa,
“Saya meminta dengan sangat perkara ini ditindak tegas sesuai jalur hukum, apalagi pada hari Jumat Minggu lalu rumah saya diserbu preman suruhan dari Fajar. Saya minta keadilan kepada bapak - bapak Polisi, sebagai pelindung kami, masyarakat lemah ini,” ujar Rina beberapa waktu lalu.
Saat ini, Fajar preman kampung yang sok Jagoan, sudah ditahan di Polres Kabupaten Malang. Boleh jadi sekarang Fajar yang meringkuk di penjara mulai tidur tidak nyenyak makan pun tidak enak. Ini adalah sebuah pembelajaran bagi masyarakat yang sok bergaya arogan, preman melakukan intimidasi.
NKRI adalah negara hukum, tidak ada siapapun dibumi Nusantara ini yang bisa memaksakan kehendaknya kepada masyarakat lainnya. @redho fitriyadi.