Maros, Kabartujuhsatu.news, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Maros menyuarakan keprihatinannya setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Selatan mengumumkan hasil tes yang menyatakan Wakil Bupati Maros, Suhartina Bohari, positif menggunakan narkoba.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama dari lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan nilai-nilai moral keagamaan, seperti HMI dan KAHMI Maros.
Jufri Juma, mantan Ketua HMI Maros yang kini menjabat sebagai pengurus Majelis Daerah (MD) KAHMI Maros, menekankan bahwa aparat penegak hukum, termasuk BNN dan kepolisian, harus segera mengambil tindakan tegas untuk mengusut kasus ini.
"Kasus ini harus diproses secara hukum, sesuai dengan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, yang menyebutkan bahwa pengguna narkotika dapat dihukum penjara hingga empat tahun," ujarnya.
Jufri juga menambahkan bahwa undang-undang memberikan ruang bagi pengguna narkotika yang kecanduan untuk menjalani rehabilitasi sebagai alternatif hukuman penjara.
"Namun, langkah hukum harus tetap dilakukan mengingat Suhartina Bohari adalah seorang pejabat publik.
"Sebagai pejabat publik, sangat tidak etis jika seorang wakil bupati, apalagi di daerah yang dikenal religius seperti Maros, terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
"Hal ini mencoreng citra daerah dan kepemimpinan yang seharusnya menjadi panutan masyarakat," tegas Jufri.
Selain itu, Jufri mengingatkan bahwa berdasarkan undang-undang, BNN memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus narkotika, termasuk yang melibatkan pejabat publik.
"Oleh karena itu, setelah BNN mengumumkan hasil tes tersebut, aparat penegak hukum wajib mengambil langkah tindak lanjut.
Ia menekankan pentingnya keikhlasan dari pihak Suhartina Bohari untuk menghadapi konsekuensi hukum yang berlaku.
“Berdasarkan pertimbangan hukum, beliau harus memiliki itikad baik, entah dengan melaporkan diri untuk mendapatkan rehabilitasi kesehatan atau bersiap menjalani hukuman pidana yang diatur oleh undang-undang,” ujar Jufri.
Menurutnya, organisasi keagamaan, ormas, dan organisasi kepemudaan juga perlu bersuara terkait kasus ini.
"Kita tidak boleh membiarkan masalah ini tanpa tindakan. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi ancaman serius, terutama bagi generasi muda di Maros," ujarnya.
Secara moral dan yuridis formal, lanjut Jufri, seorang pengguna narkotika kehilangan legitimasi untuk memimpin.
Namun, menurutnya, keputusan politik diperlukan untuk mengeksekusi langkah-langkah hukum ini, dan keputusan tersebut tidak akan datang dengan sukarela tanpa adanya desakan dari masyarakat.
Pertanyaan kritis yang diajukan Jufri adalah apakah hasil tes kesehatan calon kepala daerah, khususnya di kasus Kabupaten Maros, dapat ditindaklanjuti hingga ke ranah pidana.
"Jika tidak ada proses pidana yang dilakukan, siapa yang akan bertanggung jawab atas pelanggaran ini?" tanya Jufri.
Ia menekankan bahwa pihak penegak hukum, baik kepolisian maupun BNN, serta pemerintah daerah, akan dianggap lalai jika tidak menindaklanjuti kasus ini.
"Tindakan tegas dan transparan sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan lembaga pemerintahan.
Kasus ini menjadi ujian bagi integritas dan komitmen pemerintah daerah serta penegak hukum dalam menangani penyalahgunaan narkotika, terutama yang melibatkan pejabat publik.