Prajurit Kesultanan Ternate dari Galela
  • Jelajahi

    Copyright © kabartujuhsatu.news
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner

    Layanan Publikasi Media Online : Iklan, Berita, Banner
    Klik Gambar Inaproc Kabartujuhsatu di Kolom Pencarian

    Daftar Blog Saya

    Prajurit Kesultanan Ternate dari Galela

    Kabartujuhsatu
    Minggu, 16 Maret 2025, Maret 16, 2025 WIB Last Updated 2025-03-16T11:39:24Z
    masukkan script iklan disini

    PADA ERA SULTAN KHAIRUN JAMIL (1535-1570)

    Keterlibatan orang Galela dengan kesultanan Ternate dapat ditelusuri pada abad ke-16, ketika Kesultanan Ternate dibawah pemerintahan Sultan Khairun Jamil (1535-1570) dimana kesultanan Ternate melakukan ekspansi perluasan wilayah ke Halmahera Utara.

    Dalam melakukan ekspansi perluasan kesultanan Ternate dibantu oleh pasukan gabungannya dari Gamkonora yang dipimpin oleh seorang Sangaji bernama Leliato sekaligus ipar laki-lakinya serta bersama para tentara Portugis yang sudah menjadi kawula Kesultanan Ternate sejak masa pemerintahan Sultan Bayan Sirullah (1500-1522) untuk menyerang wilayah Galela Halmahera Utara.

    Semenjak Sultan Khairun di nobatkan sebagai Sultan Ternate pada tahun 1535 wilayah Galela tidak berada dibawah pengaruh pemerintahan Kesultanan manapun, orang Galela memiliki pemerintahan tradisional sendiri dan setiap perkampungan dipimpin oleh kepala suku.

    Pada tahun 1536-1542 ekspansi kesultanan Ternate serta Gamkonora diwilayah Halmahera Utara khususnya Galela, mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan alifuru Galela yang saat itu sangat mahir dalam berperang dan masih memeluk agama lelehur (soamoigiowo) berbagai penyerangan di lakukan oleh kesultanan Ternate serta Gamkonora selalu mengalami kekalahan hingga Kesultanan Ternate melakukan persekutuan dengan Portugis yang memiliki persenjataan moderen berupa meriam dan senapan yang lengkap. Dengan adanya pasukan gabungan Gamkonora dan Portugis dengan jumlah yang cukup banyak penyerangan dilakukan kembali di Galela kali ini para prajurit Galela mengalami kekalahan tepatnya pada tahun 1543.

    Akibat kekalahan ini orang-orang Galela harus mengakui kekuasan Kesultanan Ternate diwilayahnya, hingga pada tahun 1656 orang Galela berada di bawah kekuasaan Sangaji Gamkonora. Orang-orang Galela yang beragama Islam hidup dibagian pesisir sedangkan yang beragama Kristen hidup dibagian pedalaman dekat dengan Telaga serta sebagiannya Alifuru (Soamoigiowo) yang masih memiliki kepercayaan animisme.

    Pada tahun 1559 orang-orang Galela juga meyerang pemukiman orang Moro yang beragama Kristen yang saat itu berada dibawah wilayah Kerajaan Morotia (mamuya).

    Tak hanya pemukiman orang Moro saja yang diserang pada periode berikutnya pada tahun 1606 orang-orang Galela menyerang wilayah Tolo yang saat itu menjadi pusat Misi Jesuit Portugis. Berbagai penyerangan yang di lakukan oleh orang-orang Galela baik yang sudah beragama Islam dan Kristen dipandang oleh orang-orang Portugis sebagai tindakan yang tidak beradab dan padan 1662 mereka sebanyak 100 orang laki-laki dewasa, mereka diberikan predikat oleh Portugis sebagai orang-orang yang tak beradab walaupun sebagiannya sudah beragama.

    Semenjak wilayah Galela menjadi vasal kesultanan Ternate di masa pemerintahan Sultan Khairun orang-orang Galela dijadikan sebagai Armada perang kesultanan Ternate hingga wilayah ini dijuluki sebagai dapur prajurit kesultanan Ternate karena penduduknya sangat banyak dibandikan wilayah-wilayah Halmahera Utara lainnya.

    Sementara kemajuan Misi Jesuit yang begitu pesat dibawah kendali Gubernur Portugis Tristao de Ataide (1534-1537) telah menimbulkan kekhawatiran Sultan Khairun. Maka pada 1553 Sultan Khairun mengundang para Sultan Bacan, Tidore dan Kolano Katarabumi dari Jailolo untuk membahas laju perkembangan Kristenisasi di Moro dalam suatu pertemuan rahasia.

    Dengan suara bulat para Sultan memutuskan "Menyetop laju evangelisasi dan mengenyahkan orang-orang Portugis dari Moro dan Maluku." pada pertemuan tersebut, Kolano Jailolo Katarabumi dipilih untuk memimpin penyerangan ke kerajaan Moro.

    Pada tahun 1556 Katarabumi dan pasukan Alifurunya yang berasal dari Jailolo yang besar menuju Moro, tak lupa pula prajurit Galela juga ikut serta dalam peyerang ini hanya saja tidak disebut dalam penulisan sejarah, namun ketika Katarabumi mengepung Mamuya ibukota kerajaan Moro selama seminggu Katarabumi memberikan waktu selama 24 jam kepada Raja Tioliza agar menyerah kalau tidak semua ladang padi dan kebun kelapa akan dibakar ketika raja Moro menyerah dan melarikan diri kehutan bersama orang-orang Portugis yang mengawalnya tetapi mereka dicegah oleh penduduk setempat (Galela), para pengawal raja Moro di bunuh dan Raja Moro di tawan dan diserahkan kepada Katarabumi.

    PADA ERA SULTAN BABULLAH DATU SAYAH (1570-1583)

    Ketika Sultan Khairun dibunuh dibenteng Gamlamo pada 28 Februari 1570, oleh Martin Alfonso Pimenta, maka seruhan jihad yang dikumadangkan oleh Sultan Babullah Datu Syah (1570-1583) untuk menggusir Portugis dari Maluku.

    Ketika mengempung Benteng Gamlamo Sultan Babullah memiliki pasukan sebanyak 10.000 pasukan yang datang dari Jailolo, Gamkonora, Galela, Moti, Hiri, dan Makian. Pasukan Galela digambarkan sebagai pasukan yang pandai dalam memakai alat perang seperti panah yang beracun serta panah api (bau-bau).

    Penyerangan di Moro pusat Kristenisasi juga di lakukan oleh rakyat Galela dibawah Kapita Ahmad Sangaji (lahamajojo) dengan pasukannya yang sangat banyak menyerang Mamuya dan Tolo sehingga tentara Portugis menyerah dan digiring ke Ternate (benteng gamlamo), Kapita Ahmad Sangaji juga sempat di minta oleh Sultan Babullah menjadi duta perdamaian di Tidore mengingat ibu beliau adalah Putri Sultan Tidore terdahulu.

    Ada juga salah satu Kapita dari Galela kakak dari Kapita Ahmad Sangaji yaitu Lantera yang juga di angkat oleh kesultanan Ternate menjadi panglima perang di Galela namun kapita Lantera tidak terlalu banyak dikisahkan dalam sumber-sumber sejarah.

    PADA ERA SULTAN SAID (1583-1606)

    Pada akhir abad ke-16 serta awal abad ke-17, di masa pemerintahan Kesultanan Ternate Sultan Said (1583-1606), orang Belanda yang pertama kali menginjak Ternate pada tahun 1588 yaitu laksamana Jacob Corneliszoon Van Neck lalu Sultan Said bertemu dengannya dan berhasil memperoleh senjata yang ditukar dengan cengkih.

    Namun ketika penyerangan Spanyol ke Ternate dan berhasil menguasai Ternate, Spanyol dan pasukan Koalisinya yakni Tidore mulai menyerang vasal kesultanan Ternate di Halmahera yaitu Gamkonora, Bisoa, Galela, Pune dan Mamuya.

    PADA ERA SULTAN AMIR ISKANDAR ZULKARNAIN (1714-1715)

    Pada abad ke-18 di Masa Sultan Amir Iskandar Zulkarnain (1714-1751), pada tahun 1740 sebuah pemberontakan telah terjadi di Galela masyarakat Galela yang selama ini membuktikan kesetiannya dan pengorbanannya kepada kesultanan Ternate melakukan protes. Bahkan para tentara Belanda diserang oleh alifuru Galela hingga beberapa serdadu Belanda mati bahkan dalam penyerangan itu Sangaji Gamkonora juga ikut terlibat didalamnya.

    Penyebab pemberontakan adalah dimana setiap pemimpin-pemimpin di Galela harus berpartisipasi dalam ekstirpasi (pemusnahan pohon-pohon cengkeh dan pala untuk monopoli perdagangan rempah-rempah). Hingga pada 1741 perjanjian telah ditandatangani di antara perwakilan VOC dan pemerintahan Sangaji Galela. Bahwa kekuasaan Gamkonora atas Gelela sudah di ambil alih oleh pihak VOC dibawah pemerintahan kesultanan Ternate.

    PADA ERA SULTAN MUHAMMAD YASIN (1796 - 1801)

    Pada pawal abad ke-19 orang Galela dilaporkan oleh pihak Belanda bahwa orang-orang Galela yang berada di Tolo dan pulau Morotai bersama dengan Orang-orang Tobelo melakukan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang kesultanan Ternate yang beroperasi diperairan Halmahera.

    Sedangkan orang-orang Galela yang berada di wilayah Halmahera Utara sebanyak 406 orang dijadikan Armada pengayu oleh kesultanan Ternate untuk extirpatie pohon cengkih yang dilakukan oleh VOC.

    PADA ERA SULTAN MUHAMMAD ARSYAD (1859 - 1876)

    Pada pertengahan abad ke-19, orang Galela dijadikan sebagai armada pengejaran Bajak Laut, laporan yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1859 menyebutkan bahwa di perairan Seram terjadi perompakan beberapa kampung dan penculikan sejumlah orang. Kapal Etna yang dikirim ke sana berhasil menemukan tiga perahu pembajak, dua berhasil ditenggelamkan dan satunya ditinggalkan para perompak yang melarikan diri ke hutan. Namun para perompak berhasil dibekuk penduduk Kayeli, dan sejumlah 50 orang yang diculik berhasil dibebaskan.

    Pada waktu yang sama, orang-orang Tobelo, Galela, Tobaru, Loloda, dan Kao, muncul bukan sebagai bajak laut, tetapi sebagai bala bantuan pasukan yang dikirim Kesultanan Ternate untuk membantu Belanda menumpas perompakan tersebut. Berbagai daerah di perairan Maluku Utara memang masih rawan bajak laut.

    Sekian ulasan sejarah tentang prajurit Galela di atas baik yang saya kutip dari berbagai sumber buku dan Internet semoga menambah khanzana pengetahuan serta bermanfaat terhadap pembaca untuk lebih mengenal sejarah Maluku Utara lebih khususnya Galela.

    Meskipun ulasan sejarah di atas tidak sempurna dan masih banyak kekurangan yang perlu saya perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan saya tentang disiplin ilmu sejarah serta referensi yang didapat. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat saya harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

    Narasi oleh: Muhammad Diadi
    Ket. Foto : Seorang Pria Galela Menarikan Cakalele, Halmahera 1937.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini